Sukses Lompatan Harimau di Asia Timur

Berbeda dengan negara-negara Amerika Latin, lima negara Asia Timur yakni Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura melakukan penyesuaian besar dalam strategi pertumbuhan mereka. Ini salah satunya yang menyebabkan upaya keluar dari perangkap pendapatan menengah di sana berakhir berbeda. Tidak hanya berhenti sebatas menjadi destinasi modal asing yang mengejar buruh murah, negara-negara Asia Timur itu begitu memasuki zona pendapatan menengah langsung banting setir untuk lebih fokus pada pengembangan skala ekonomi.

Pengembangan skala ekonomi inilah yang menurut Gill dan Kharas menjadi kunci sukses lima negara Asia Timur di atas dalam mensiasati Middle Income Trap beberapa dasawarsa lalu.[1] Krusial dalam pengembangan skala ekonomi negara-negara Asia Timur waktu itu adalah pengembangan pola dagang, arus gagasan dan inovasi, arsitektur finansial baru dan pengembangan kawasan di sekitar titik-titik krusial rantai global pertambahan nilai. Perwujudan konkretnya adalah pengembangan perekonomian lima negara Asia Timur itu dalam sektor elektronik, komputer dan komunikasi yang notabene merupakan tiga sektor krusial dalam Revolusi Industri Ketiga waktu itu.

Tidak hanya berhenti sebatas menjadi destinasi modal asing yang mengejar buruh murah, negara-negara Asia Timur itu begitu memasuki zona pendapatan menengah langsung banting setir untuk lebih fokus pada pengembangan skala ekonomi.

EIP Lecture

Dengan melibatkan diri pada tiga sektor krusial Revolusi 3.0 waktu itu, lima negara-negara Asia Timur ini secara sadar telah menempatkan diri dalam titik sentral upaya pertambahan nilai. Selain mengembangkan skala ekonomi mereka, ini juga menjadi-kannya belajar bagaimana terlibat dalam inovasi-inovasi penting. Ke depan langkah ini memastikan pertumbuhan tingginya berjalan sinambung, begitu juga peningkatan pendapatan per kapitanya.

Inilah fase krusial yang oleh beberapa ahli diyakini menjadi penentu apakah suatu negara bakal terjebak dalam perangkap pendapatan menengah terus menerus ataukah justru melaju menjadi bagian dari negara-negara maju. Dalam risetnya terhadap negara-negara Asia Timur, Kenichi Ohno (2009) secara menarik mengemukakan empat tahap pokok industrialisasi catching-up.[2] Keempat tahap itu ialah penanaman modal asing secara langsung, aglomerasi, penyerapan teknologi. Keempat dan pengembangan kreativitas. Tabel IV.b di bawah mengungkapkan bagan umum empat tahap industrialisasi catching-up Asia Timur di atas.

Pertumbuhan Asia Timur dan Amerika Latin
(Glawe & Wagner, 2016)

Dalam pengalaman Asia Timur, pertumbuhan tinggi mula-mula muncul sebagai dampak dari penanaman modal asing/PMA secara langsung. Mula-mula modal masuk dalam sektor industri perakitan ringan yang bertujuan ekspor. Dari industri garmen, sepatu dan bahan makanan, ia berkembang ke industri elektronik. Dalam periode-periode awal disain, teknologi, produksi dan marketing dikerjakan dari luar, material dan suku cadangnya pun diimpor. Negara-negara Asia Timur hanya menyediakan kawasan industri dan buruh berkecakapan rendah. Sebagai akibatnya, meski membukakan lapangan kerja, nilai tambahnya secara lokal rendah.

Seiring banyaknya PMA yang masuk, upaya untuk memenuhi bahan baku dan suku cadang secara domestik tumbuh. Ini menumbuhkan perusahaan-perusahaan pemasok lokal. Lambat laun, perusahaan pemasok ini berkembang kompetitif dan rantai suplai yang produktif pun terjalin. Pada titik ini, upaya untuk menciptakan nilai tambah secara lokal berkembang pesat meski secara umum masih berlangsung dalam arahan dan supervisi perusahaan asing sebagai mitranya. Dalam situasi seperti itu, ekonomi mitra lokal kendati tumbuh tidak berkembang maksimal. Secara umum Thailand, Malaysia dan nampaknya juga Indonesia berada dalam tahap ini.

Tahap-Tahap Industrialisasi Catching-Up di Asia Timur
(Ohno, 2009)

Jika tahap ini terlewati, tantangan berikutnya adalah menyerap dan menginternalisasi kecakapan dan keahlian melalui program-program pengembangan sumber daya manusia yang sesuai. Targetnya adalah memastikan tenaga kerja lokal siap menggantikan tenaga-tenaga kerja asing dalam berbagai area produksi, mulai dari disain, proses produksi, logistik, pemasaran, kontrol mutu, maupun manajerial. Seiring dengan berkurangnya ketergantungan kepada tenaga kerja asing ini, nilai tambahnya secara lokal meningkat pesat. Kawasan yang semula dikenal dengan buruh murahnya tiba-tiba tumbuh menjadi pelaku ekspor produk-produk manufaktur yang berkualitas.  Taiwan, Korea Selatan dan nampaknya juga Singapura adalah contoh negara-negara Asia Timur yang telah berada pada tahap ini.

Pada tahap lanjut, negara-negara Asia Timur yang telah mampu tumbuh sebagai pelaku ekspor produk manufaktur berkualitas ditantang untuk mengembangkan kreativitas lebih jauh. Targetnya adalah menciptakan produk-produk baru yang mampu menjadi pemimpin pasar internasional. Selain membutuhkan dukungan riset-riset yang intensif, tahap ini juga membutuhkan dukungan sumber daya manusia yang cakap. (JOSS)


  • [1] Indermit Gill dan Homi Kharas, An East Renaissance: Ideas for Economic Growth, Washington D.C: the World Bank, 2007.
  • [2] Kenichi Ohno, “Avoiding the Middle Income Trap: Renovating Industrial Policy Formulation in Vietnam”, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 26 No. 1, 2009, hal 25-43

For Quotation: Joko Susanto, “Sukses Lompatan Harimau di Asia Timur”, Focus: Middle Income Trap, EmergingIndonesia.com, 8 July, 2021

Image: Asian Tigers by the Economist

Written by
Joko Susanto

Executive Director of Emerging Indonesia Project/EIP. Managing Editor of EmergingIndonesia.com. Email: j.susanto@emergingindonesia.com

View all articles
Written by Joko Susanto

Kontak

Ikuti Kami

Dapatkan update berita, ulasan dan kegiatan kami dengan cara follow akun sosial media kami berikut ini.