Satu di antara tantangan transformasi negara berkembang (developing country) ke negara udaya (emerging country) adalah bagaimana keluar dari Perangkap Pendapatan Menengah atau Middle Income Trap/MIT. Ia adalah istilah yang merujuk pada kecenderungan negara-negara dengan pendapatan per kapita menengah untuk terperangkap dalam jenjang yang sama tanpa mampu melompat ke jenjang berikutnya. Sebagai negara dengan pendapatan per kapita menengah, Indonesia menghadapi tantangan serupa.
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, minimal pendapatan per kapita negara kategori pendapatan tinggi adalah US$ 12.235, sementara batas minimal pendapatan per kapita pendapat rendah adalah US$ 1.006. Negara yang terkena sindrom Middle Income Trap berarti terperangkap dalam rentang pendapatan antara US$1006 dan US$12.235 tanpa bisa naik lebih tinggi lagi. Ini berarti rerata pendapatan per kapita penduduk negara yang terkena sindrom itu, terperangkap dalam kisaran di bawah US$12.235/tahun atau setara dengan Rp 171.290.000/tahun atau Rp 14.274.000/bulan dalam asumsi kurs Rp 14.000/dollar.
Middle Income Trap adalah istilah yang merujuk pada kecenderungan negara-negara dengan pendapatan per kapita menengah untuk terperangkap dalam jenjang yang sama tanpa mampu melompat ke jenjang berikutnya. Sebagai negara dengan pendapatan per kapita menengah, Indonesia menghadapi tantangan serupa.
-EIP Lecture, 2018
Istilah Middle Income Trap/MIT itu sendiri baru menyita perhatian publik dalam satu dekade terakhir. Mula-mula ia muncul di laporan Bank Dunia berjudul An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth yang ditulis Indermit Gill dan Homi Kharras (2007).[1] Beberapa tahun kemudian, Homi Kharas bersama Harinder Kohli (2011) menjabarkan konsepnya dalam sebuah artikel berjudul What is the Middle Income Trap? Why do Countries Fall Into It? And How Can It Be Avoided?[2]
Sejarah membuktikan bahwa hanya sedikit negara atau entitas ekonomi yang berhasil melewati middle-income trap ini. Sebaliknya, banyak negara terjebak dalam rentang pendapatan menengah untuk kurun waktu yang lama. Kasus Korea Selatan, Brasil dan Afrika Selatan mengungkapkan perbandingan menarik. Ketiganya adalah negara yang menikmati pertumbuhan tinggi pada pertengahan 1970an. Pertumbuhan tinggi itu membawanya dalam klub negara-negara kelas menengah atas di tahun 1980an.
Dibandingkan Korea Selatan, Brasil dan Afrika Selatan justru masuk level menengah atas lebih dulu. Tetapi Brasil dan Afrika Selatan tertahan di level itu, sementara Korea Selatan pertengahan 1980an mengalami take-off, menghasilkan pendapatan per kapita yang meningkat hampir empat kali lipat dua puluh tahun kemudian.
Sebagaimana terlihat dalam di atas, di tahun 1985 pendapatan per kapita ketiga negara seimbang di level US$ 4000an. Namun di tahun 1995 pendapatan per kapita Korea Selatan melejit menjadi sekitar US$ 15000, sementara Brasil dan Afrika Selatan stagnan di kisaran US$ 4000 dan US$6000.
Brasil dan Afrika Selatan tidak sendiri. Studi lebih mendalam yang dilakukan Gill dan Kharras (2008) terhadap negara-negara Asia Timur yang mengalami pertumbuhan tinggi pasca perang dunia II yakni Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura dan negara-negara Amerika Latin yang mengalami pertumbuhan tinggi serupa juga mengemukakan adanya gejala keterperangkapan yang sama. Bedanya, beberapa negara Asia Timur mampu keluar dari perangkap pendapatan menengah itu, sementara negara-negara Amerika Latin sampai hari ini masih terperangkap di sana.
Selain menghadapi periode bonus demografi, sejak lima tahun terakhir Indonesia telah mulai menyentuh batas atas negara dengan pendapatan menengah atas atau upper middle income. Sebagai misal, di akhir tahun 2016 saja pendapatan per kapita sudah mencapai Rp 47,96 juta per kapita per tahun, naik dari Rp 45,14 di tahun 2015 dan dari Rp 41,92 juta di tahun 2014.[3] Pendapatan per kapita tahun 2016 jika dikonversi ke dollar waktu itu sudah menyentuh kisaran US$ 3600an. Apabila pertumbuhan ekonomi tinggi Indonesia konsisten dipertahankan, bukan mustahil posisinya akan merangkak naik.
- [1] Indermit Gill dan Homi Kharas, An East Renaissance: Ideas for Economic Growth, Washington D.C: the World Bank, 2007.
- [2] Indermit Gill dan Homi Kharras, What is the Middle Income Trap? Why do Countries Fall into It? And How can It be Avoided”, Global Journal of Emerging Market Economies, Vol 3, No 3, 2011, hal 281-289
- [3] “Pendapatan Per Kapita RI Naik jadi Rp 47,96 juta per tahun”, Detik.com, 6 Februari 2017
For Quotation: Joko Susanto, “MIT dan Duduk Soalnya”, Focus: Middle Income Trap, EmergingIndonesia.com, 7 July, 2021
Image: Development Arrested by Economic Times