Masalah Regulasi dalam Pengelolaan LPI

Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai pengelola investasi pemerintah pusat atau sovereign wealth fund (SWF) Indonesia diatur melalui UU Cipta Kerja no. 11 tahun 2020, PP 73 tahun 2020, dan PP 74 tahun 2020 yang dikombinasikan dengan beberapa aturan terkait lainnya. Sayangnya, regulasi-regulasi itu masih menyisakan persoalan terkait: (1) kejelasan sumber dana, (2) sektor prioritas dan target investasi utama, (3) pengawasan, potensi kerugian, serta kemungkinan intervensi politik, dan (4) absennya prinsip pembangunan berkelanjutan.

Isu investasi Pemerintah Pusat adalah salah satu hasil utama Omnibus Law atau Undang-Undang (UU) Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 (Pemerintah Republik Indonesia 2020c). Fokus utama dari bagian ini adalah pada pendirian dan pengelolaan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesian Investment Authority (INA) sebagai bentuk nyata dari investasi pemerintah pusat.

Ada beberapa persoalan mendasar yang muncul dari peraturan-peraturan yang terkait dengan LPI, utamanya terkait ketidakjelasan target sektor utama pengelolaan investasi nasional, kemungkinan masuknya dana non-negara/asing dalam LPI, serta kerancuan soal pengawasan pengelolaan keuangan dan potensi kerugian negara.

Selain itu, tema umum yang juga terlihat jelas adalah ketiadaan paradigma pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek budaya, karena dalam pendirian LPI, prinsip dasarnya hanya peningkatan investasi serta penciptaan lapangan kerja yang berlandaskan kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal.

Beberapa Regulasi Kunci

Terkait pengelolaan investasi pemerintah pusat, ada beberapa peraturan terkait yang perlu dijadikan rujukan. Yang pertama adalah UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 mulai bab X mengenai Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional (terdiri dari pasal 154 sampai 172). Aturan turunan dari UU 11/2020 ini, yang terkait dengan LPI, adalah Peraturan Pemerintah (PP) 73/2020 mengenai modal awal LPI (Pemerintah Republik Indonesia 2020a) dan PP 74/2020 mengenai LPI (Pemerintah Republik Indonesia 2020b).

Analisis dalam bagian ini didasarkan pada pembacaan penulis terhadap ketiga aturan di atas, yang dikombinasikan dengan beberapa aturan terkait lainnya. Dalam analisis regulasi-regulasi yang ada dalam rangka pendirian dan pengelolaan LPI, ada empat isu mendasar yang muncul: (1) ketidakjelasan sumberdana, (2) masih tidak jelasnya sektor utama yang hendak dijadikan target investasi, (3) soal pengawasan, potensi kerugian, serta kemungkinan intervensi politik, dan (4) absennya prinsip pembangunan berkelanjutan

Ketidakjelasan Sumber Dana

Pasal 157 UU 11/2020 mengatur bahwa sumber dana awal diperolah dari aset negara, aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sumber lainnya. Selain itu, pasal 157 juga mengatur pemindahtanganan aset negara menjadi aset lembaga. Persoalan ini seharusnya diperjelas dengan pasal 3 PP 74/2020, yang mengatur penyertaan modal negara (dan modal lainnya), dengan modal awal 15 triliun rupiah dan modal lanjutan yang harus disediakan negara untuk mencapai 75 triliun rupiah di akhir 2021.

Tahun 2020 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memberikan komitmen bahwa pemerintah menyiapkan 75 triliun rupiah (Aklash 2020). Komitmen tersebut kemudian dituangkan dalam PP 73/2020 mengenai modal awal LPI. Sisa modal yang dibutuhkan akan diberikan secara bertahap dari penyertaan modal negara sebesar 15 triliun dan sisanya, sekitar 45 triliun, akan dipenuhi melalui inbreng saham, Barang Milik Negara (BMN), dan piutang negara (Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2021).

Dari sini tentu akan muncul persoalan, apakah berarti negara akan menanggung semua beban modal awal ini? Apalagi, di pasal 51 PP 74/2020 disebutkan bahwa jika modal berkurang, maka pemerintah perlu menambahnya. Apakah sebetulnya sumber dana utamanya? Apakah dari surplus ekspor-impor, sebagaimana dilakukan di beberapa negara produsen hidrokarbon? Atau dari aset BUMN yang dijadikan jaminan utang?

Persoalan lainnya, tahun lalu Sri Mulyani menyebutkan bahwa pemerintah berharap negara-negara lain (seperti AS, Jepang, dan Uni Emirat Arab) akan ikut berinvestasi di LPI. Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo juga sempat mengatakan bahwa LPI akan mengikuti model Rusia, yang mengumpulkan dananya dari investor lain, bukan dari dana cadangan negara (Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2021).

Lebih lanjut lagi, Sri Mulyani juga mengatakan (dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat) bahwa LPI akan meniru model India untuk mengombinasikan modal internal pemerintah dengan investasi asing (Thomas 2021). Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana lantas pengelolaannya? Sejauh mana investor asing justru akan menjadi penentu arah investasi? Padahal, secara konseptual dan secara praktikal di banyak negara, dana investasi negara murni diperoleh dari dana cadangan dan simpanan negara.

Selain itu. dalam beberapa literatur mengenai sovereign wealth fund, terlihat bahwa lembaga investasi pemerintah adalah alat strategis negara dalam pencapaian kepentingannya (Krishmadas 2013). Sebagai contoh, Singapura dianggap salah satu contoh sukses dengan menggunakan Temasek, the Government Investment Corporation (GIC), dan bank sentral Monetary Authority of Singapore (MAS) untuk berinvestasi dan membiayai sebagian dari kebutuhan pertahanan mereka.

Apabila lembaga investasi negara ini dipahami sebagai bagian dari strategi pencapaian kepentingan nasional negara, apa lantas kepentingan negara Indonesia dalam konteks ini? Apakah kepentingan negara hanya terbatas pada penciptaan lapangan pekerjaan, sebagaimana tertulis dalam pasal 154 UU 11/2020?

Bagaimana pula memastikan yang menjadi target utama adalah kepentingan negara, bukan kepentingan investor asing? Bagaimana lantas pemerintah menjamin bahwa kesejahteraan masyarakat akan tetap menjadi fokus utama dan bukan hanya menjadi pemenuhan kepentingan investor belaka? Bagaimana jika terjadi kerugian dan investor tidak mau menunggu kembalinya hasil investasi mereka? Apakah pemerintah Indonesia harus menutupi dahulu kerugian tersebut dan menjamin keberlangsungan proyeknya?

Ketidakjelasan Sektor Utama dan Target Investasi

Isu kedua yang penting dari regulasi yang sudah ada adalah masih tidak jelasnya sektor utama yang hendak dijadikan target investasi. UU Cipta Kerja (utamanya pasal 154) belum menjelaskan sektor apa yang dijadikan fokus utama investasi. Pasal 154 ayat 1, UU 11/2020, menyebutkan fokus LPI pada peningkatan investasi, penguatan perekonomian, dan penciptaan pekerjaan, sehingga kesan awal yang didapatkan adalah fokus pada aspek-aspek ekonomi semata. Padahal, di ayat 2 disebutkan bahwa ada pula target manfaat sosial dan kemanfaatan umum di luar aspek penciptaan pekerjaan.

Sementara itu, Pasal 1 PP 74/2020 bahkan hanya memfokuskan pada tujuan mendapatkan keuntungan, manfaat ekonomi, dan manfaat lainnya. Dalam penjelasan PP 74/2020 juga ditekankan soal pertumbuhan ekonomi demi mencapai Indonesia Emas 2045, sehingga kesan bahwa pemerintah hanya menginginkan manfaat ekonomi semakin kentara. Walaupun ada pernyataan di pasal 67 PP 74/2020 yang menekankan perlunya memerhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun tanpa arah investasi yang jelas, tentu sulit memaksa pemerintah untuk memikirkan aspek ini.

Sebagai perbandingan, beberapa negara dengan jelas mengarahkan fokus investasinya di sektor yang berbeda (Clark et al. 2013). Misalnya saja, Norwegia menggunakan dana dari penjualan minyak untuk kebutuhan dana pensiun di masa depan atau bahkan untuk sektor-sektor energi terbarukan.

Sementara itu, pada beberapa negara dengan ketergantungan sumber daya alam (seperti Kazakhstan, Kuwait, Libya, Rusia, ataupun Venezuela), dana investasi digunakan untuk menjaga stabilitas di saat krisis maupun untuk mencari sektor non-migas. Misalnya, Rusia melalui Russia Direct Investment Fund, yang dianggap mirip dengan niatan Indonesia, secara jelas menyatakan bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat adalah salah satu target utama, yang dibuktikan dengan dukungan penuh RDIF pada pendanaan vaksin Sputnik V.

Persoalannya, aturan yang ada belum memberikan batasan yang jelas mengenai sektor utama ini. Apakah tetap akan menggunakan dasar PP 63/2019 (Pemerintah Republik Indonesia 2019) mengenai investasi pemerintah yang menekankan kembali sektor infrastruktur sebagai sektor utama, mengingat tujuan utama investasi adalah penciptaan lapangan kerja? Ataukah akan ada fokus baru yang memasukkan paradigma pembangunan berkelanjutan, dengan mulai menyentuh sektor lingkungan hidup misalnya?

Bagaimana pula dengan pengalaman banyak negara lain seperti New Zealand dan Irlandia yang menggunakan dana simpanannya untuk mengurangi beban pajak dan meningkatkan jaminan sosial bagi masyarakat? Untuk memperjelas arah dan target sektoral mana yang diutamakan, perlu juga dilakukan pengawasan dan desakan dari masyarakat, kelompok akademisi, serta kekuatan politik domestik agar paradigma yang diutamakan adalah pembangunan berkelanjutan, bukan hanya peningkatan potensi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Masalah Pengawasan, Potensi Kerugian dan Intervensi Politik

Isu ketiga terkait LPI adalah soal pengawasan, potensi kerugian, serta kemungkinan intervensi politik. Pasal 161 UU 11/2020 dan pasal 52 PP 74/2020 menunjukkan bahwa kewenangan pemeriksaan bukan berada di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi di akuntan publik yang terdaftar di BPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apakah lantas ini tidak bertentangan dengan pasal 23E UUD 1945 tentang BPK sebagai pemeriksa kinerja pengelolaan keuangan negara ataupun pasal 6 UU 15/2006 (Pemerintah Republik Indonesia 2006) tentang kewenangan BPK?

Kalau pun diperbolehkan oleh undang-undang, persoalan lanjutan justru muncul karena pasal 158 UU 11/2020 mengatakan bahwa kerugian adalah kerugian lembaga, bukan negara. Bagaimana kalau ternyata LPI keliru memilih investasinya dan mengalami kerugian besar, padahal aset awalnya adalah aset negara dan BUMN? Apakah ini akan dianggap sebagai kerugian negara yang berpotensi menjadi ranah investigasi KPK?

Bagaimana pula sistem pengawasan bisa memastikan bahwa LPI tidak akan mengulang skandal lembaga investasi Malaysia (1MDB) yang dijadikan komoditas politik oleh penguasa, apalagi lembaga ini bertanggung jawab kepada Presiden secara langsung? Apalagi, pasal 70 PP 74/2020 hanya menyebutkan bahwa pejabat (seperti Dewan Direktur, Dewan Pengawas, dan Dewan Penasihat) yang memiliki benturan kepentingan hanya perlu untuk memberitahukan perihal benturan kepentingan ini dan hanya dilarang memberikan suara dalam pengambilan keputusan.

Absennya Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Isu Keempat adalah absennya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengadaan lahan dan izin usaha proyek strategis nasional. Di luar persoalan lembaga pengelola investasi, bagian 10 dari RUU Cipta Kerja juga memberikan kewenangan besar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membebaskan lahan dan memberikan izin usaha bagi Proyek Strategis Nasional.

Yang menjadi masalah utama dalam isu ini adalah ketiadaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pertimbangan pembebasan lahan dan pemberian izin usaha. Pasal 173 ayat 3 mengatakan bahwa pertimbangan utama yang digunakan adalah kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal. Padahal, di saat yang sama, Indonesia (melalui Bappenas) sudah berkomitmen terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan. 

Bagaimana cara memastikan bahwa peraturan turunan dari RUU ini, utamanya terkait pembebasan lahan dan izin usaha proyek strategis nasional, tetap memerhatikan hak asasi manusia, kesetaraan, dan lingkungan hidup, kalau dalam RUU ini tidak disebutkan prinsip utama tersebut? Apabila terjadi pelanggaran hak asasi dalam proses pembebasan lahan, apakah berarti pemerintah bisa berkelit bahwa RUU Cipta Kerja hanya memerintahkan mereka untuk mempertimbangkan aspek keuangan negara dan fiskal, bukan hak asasi? Apakah ini berarti pemerintah tidak bisa dituntut oleh warganya bila ada kasus serupa dengan pembebasan tanah terkait bandara di Kulon Progo, yang sempat bermasalah dari sisi hak asasi manusia?

Problem Visi Dasar Pembangunan Indonesia

Secara umum, problem utama mengenai LPI ini ada pada visi besar mengenai arah investasi pemerintah pusat serta pengelolaannya. Problem turunan seperti belum adanya kejelasan prosedur pengawasan pengelolaan investasi serta belum jelasnya pembagian kewenangan bila ada dana investasi dari asing dalam LPI masih bisa diselesaikan dengan menerbitkan PP lain yang sesuai dengan kebutuhan.

Persoalan justru muncul karena sejak awal, prinsip dasar dalam aturan-aturan terkait LPI ini tidak menganut pandangan pembangunan berkelanjutan yang menggarisbawahi pentingnya aspek hak asasi manusia, kesetaraan, dan memerhatikan keberlanjutan lingkungan hidup, namun hanya menekankan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Tanpa prinsip ini disebutkan dalam UU, maka PP turunan pun tidak akan mempertimbangkan aspek-aspek ini, sebagaimana tampak dalam PP 74/2020. Komitmen Indonesia untuk tetap maju secara ekonomi, meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, namun dengan mengutamakan hak asasi manusia dan kesetaraan menjadi dipertaruhkan.

Problem visi ini juga diperparah dengan aturan yang masih tidak memberikan arahan yang jelas, baik di tingkat UU maupun di peraturan turunan seperti PP. Ketidakjelasan arah ini tentu bisa dimaknai sebagai ruang diskusi dan tarik-menarik kepentingan politik, yang justru memicu alarm tanda bahaya, apalagi mengingat sudah ada preseden dari Malaysia.


Referensi

  • Akhlas, A.W., 2020. “‘Prioritized’: Indonesia to establish $5b sovereign wealth fund to support economy”, The Jakarta Post, 8 Oktober [daring]. Tersedia dalam  https://www.thejakartapost.com/news/2020/10/08/prioritized-indonesia-to-establish-5b-sovereign-wealth-fund-to-support-economy.html (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Clark, G.L., Dixon, A.D., & Monk, A.H.B., 2013. Sovereign Wealth Fund: Legitimacy, Governance, and Global Power. Princeton University Press.
  • Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021. “Pemerintah Tambah Modal Awal LPI Sebesar Rp15 T di 2021” [daring]. Tersedia dalam https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/23237/Pemerintah-Tambah-Modal-Awal-LPI-Sebesar-Rp15-T-di-2021.html (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Krishmadas, D. 2013. “Sovereign Wealth Funds as Tools of National Strategy: Singapore’s Approach.” CIWAG Case Studies, 6. Newport: United States Naval War College.
  • Pemerintah Republik Indonesia, 2006. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan” [daring]. Tersedia dalam https://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2014/06/file_storage_1404095485.pdf (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Pemerintah Republik Indonesia, 2019. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah” [daring]. Tersedia dalam https://jdih.setneg.go.id/viewpdfperaturan/P18675/Salinan%20PP%20Nomor%2063%20Tahun%202019 (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Pemerintah Republik Indonesia, 2020a. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi” [daring]. Tersedia dalam https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/147582/PP%20Nomor%2073%20Tahun%202020.pdf (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Pemerintah Republik Indonesia, 2020b. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi” [daring]. Tersedia dalam https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/147590/PP%20Nomor%2074%20Tahun%202020.pdf (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Pemerintah Republik Indonesia, 2020c. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja” [daring]. Tersedia dalam https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/153567/UU_Nomor_11_Tahun_2020-compressed.pdf (diakses pada 23 Mei 2021).
  • Thomas, V.F., 2021. “Sri Mulyani Sebut Lembaga Pengelola Investasi RI Mirip NIIF India”, Tirto.id. 25 Januari [daring]. Tersedia dalam https://tirto.id/f9zR (diakses pada 23 Mei 2021). ●

Image: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. Foto oleh Dery Ridwansah. Https://www.jawapos.com/nasional/15/10/2020/uu-ciptaker-kadin-tak-perlu-lagi-mengemis-ngemis-izin-usaha/

For Quotation: Radityo Dharmaputra, “Masalah Regulasi dalam Pengelolaan LPI”, Focus: Sovereign Wealth Fund, EmergingIndonesia.com, January 30, 2022.

Written by
Radityo Dharmaputra
View all articles
Written by Radityo Dharmaputra

Kontak

Ikuti Kami

Dapatkan update berita, ulasan dan kegiatan kami dengan cara follow akun sosial media kami berikut ini.