Emerging Indonesia Project/EIP adalah prakarsa non-governmental yang bekerja bagi penajaman pemahaman dan pengembangan kebijakan terkait peluang dan tantangan Indonesia dalam transformasi negara-berkembang (developing-country) ke negara-udaya (emerging-country). Ia adalah prakarsa yang lahir demi menyikapi situasi pancaroba. Paruh pertama abad XXI ini secara umum adalah situasi pancaroba di mana pergeseran-pergeseran besar melanda dunia. Tidak hanya menorehkan fenomena kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan adidaya, ia juga mencatatkan transformasi sejumlah negara dari negara berkembang menjadi negara udaya.
Indonesia dan Peluangnya
Indonesia adalah negara yang tengah berada dalam situasi transformatif serupa. Meski tidak segemerlap kisah kebangkitan Tiongkok, Indonesia mencatatkan perkembangan yang meningkat secara agregat. Antara tahun 2000-2010, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui pertumbuhan seluruh negara udaya kecuali Tiongkok dan India.[1] Ini berarti Indonesia telah tumbuh melampaui Rusia, Brazil dan Afrika Selatan, –tiga negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Korea Selatan) yang seringkali dianggap kelompok negara paling udaya dalam dua dekade terakhir.
Tahun 2012, McKinsey memperkirakan Indonesia yang saat itu di posisi 16 besar dunia bakal merangkak menjadi 7 besar di tahun 2030.[2] Indonesia juga menjadi langganan negara yang masuk dalam kelompok negara prospektif yang bakal menyusul negara-negara BRICS. Ada banyak akronim untuk kelompok baru ini. Di antaranya adalah negara-negara MIST (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan dan Turki) yang dipopulerkan Goldman Sach, dan negara-negara EAGLE yang dipopulerkan BBVA.[3] Masih di tahun yang sama, sebuah buku yang ditulis ahli-ahli Indonesia berpengaruh terbit dan mengambil judul Indonesia Rising; the Repositioning of Asia’s Third Giant,[4] disusul sejumlah artikel dan buku dengan tema serupa setelahnya.
Dinamika & Konsistensi
Dalam tahun-tahun sesudahnya, meski menghadapi tantangan tidak mudah, Indonesia masih mempertahankan prospeknya. Posisinya sebagai anggota G20 tak tergoyahkan. Meski jarang diasosiasikan dengan negara-negara BRICS, Indonesia kian dikenal sebagai negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia), yakni kelompok negara menengah dalam G20 yang mulai dilirik keberadaannya. Sementara di luar G20, posisi politik Indonesia juga mendapatkan aksentuasi penting melalui keterpilihannya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB periode 2019-2020.[5]
Secara ekonomi, kendati gagal mempertahankan tingkat pertumbuhan periode sebelumnya, ekonomi Indonesia masih menjadi salah satu negara yang paling bertumbuh. Begitu juga ketika situasi ekonomi dunia memburuk belakangan ini. Awal Januari 2020, misalnya, di tengah keraguan bahwa pertumbuhan Tiongkok masih akan mulus untuk beberapa waktu ke depan sebagai akibat arus balik situasi dunia belakangan ini, ekonom dari Capital Economics masih menyisakan keyakinan bahwa India dan Indonesia bakal jadi perkecualian. Dalam kalimat mereka, “Sementara Italia bakal kehilangan posisinya sebagai 10 besar ekonomi dunia, India dan Indonesia bakal merangkang naik dan menjadi perkecualian di antara negara-negara udaya.”[6]
Di tahun 2020 ini, pengakuan atas posisi transformatif Indonesia rupanya masih juga mengalir. Yang terbaru datang akhir Februari lalu, melalui kebijakan Pemerintah Amerika Serikat yang mengeluarkan Indonesia dari daftar negara layak fasilitas ekspor ke negaranya. Perlu diketahui, fasilitas itu berlaku untuk negara berkembang, sehingga pengeluaran Indonesia dari daftarnya mengonfirmasi pengakuan resmi Amerika Serikat bahwa Indonesia bukan lagi negara berkembang pada umumnya. Bersama Indonesia, dicabut pula fasilitas untuk Tiongkok dan India.[7]
Peluang Bersyarat
Kendati memunculkan optimisme, proyeksi positip atas Indonesia itu perlu disikapi kritis. Pertama, lazimnya perkiraan pada umumnya, proyeksi positip atas Indonesia itu sejatinya belum menjadi peluang sesungguhnya. Sebaliknya, ia adalah peluang bersyarat yang harus diterima dengan tanda kutip dan dibubuhkan keterangan jika dan hanya jika. Ini artinya, ada banyak pekerjaan rumah yang dipersyaratkan bagi keberlakuannya. Luas diketahui bahwa meski mencatatkan pertumbuhan signifikan dalam dua dekade ini, Indonesia masih mencatatkan banyak pekerjaan rumah terkait revitalisasi visi kebangkitan, kembang-rentang perekonomian, unggah-daya sosial, akselerasi kapasitas dan strategi pasang secara keseluruhan.
Kedua, lazimnya perkiraan, proyeksi positip atas Indonesia belum memperhitungkan sepenuhnya elemen kejutan, kemungkinan rupture atau keterputusan dinamika, serta situasi force-majeure yang mungkin ada. Di antara kejutan, keterputusan dan situasi force-majeure tak terduga itu adalah pandemi global yang melanda dunia dewasa ini. Hanya berselang sepuluh hari dari pengakuan resmi negara adidaya atas situasi transformatif Indonesia, pemerintah Indonesia menginformasi serangan resmi Covid-19 atas warganya. Ini mengawali hari-hari panjang tanpa kepastian yang mengubah banyak asumsi dasar.
Genjot Pasca Pitstop
Akan tetapi, Indonesia tidak sendiri kali ini. Bersamanya ada 212 lebih negara yang mengalami situasi serupa. Ini artinya, jeda situasi sulit yang di alami Indonesia pada dasarnya juga dialami banyak negara. Di sisi lain, situasi perlambatan sosial-ekonomi yang muncul karena pandemi pada dasarnya adalah perlambatan yang disengaja demi menghindarkan resiko kemanusiaan yang lebih besar. Ibarat perlombaan balap motor, ada kemungkinan bahwa situasi saat ini adalah situasi pitstop, bukan situasi selip apalagi crash. Artinya, tiket perlombaan secara umum masih di tangan. Belum ada diskualifikasi teknis atasnya. Barang siapa kembali ke lintasan dengan lebih tangkas, lebih taktis dan lebih tangguh bakal menjadi pemenangnya.
Emerging Indonesia Project/EIP adalah prakarsa kemasyarakatan yang mengetengah dalam kaitan keduanya. Maka selain bekerja bagi penajaman pemahaman dan kebijakan dalam menghadapi tantangan-tantangan dan memenuhi peluang-peluang bersyaratnya, ia juga secara khusus bekerja bagi penajaman upaya-upaya kontributif bagi Indonesia yang lebih tangkas, lebih taktis dan lebih tangguh dalam lintasan prospektif transformasi negara-negara berkembang ke negara-negara udaya. Salam Indonesia Udaya. (JOSS/Director’s Note)
- [1] Amitav Acharya, Indonesia’s Matters: Asia’s Emerging Democratic Power, New Jersey: World Scientific, 2014.
- [2] McKinsey Global Institute, “the Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”, McKinsey Report, September 2012. Https://www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/the-archipelago-economy
- [3]Alicia Garcia-Herrero dan Stephen Schwartz, “Indonesia’s Economy Set to Fly like an Eagle”, Press Article of BBVA Research Economic Analysis and Strategic Review, 15 Agustus 2011
- [4] Anthony Reid (ed.), Indonesia Rising; the Repositioning of Asia’s Third Giant, Singapore: ISEAS Publishing, 2012.
- [5] “Indonesia’s UNSC non-permanent membership begins”, the Jakarta Post, 3 Januari 2019.
- [6] Trista Kelley, “Here’s why China won’t overtake the US as the largest economy anytime soon”, Business Insider, 22 Januari 2020. Https://markets.businessinsider.com/news/stocks/capital-economics-china-gdp-wont-eclipse-us-amid-peak-globalisation-2020-1-1028835115
- [7] “Indonesia Tidak Lagi Masuk, Berikut Daftar Negara Berkembang versi WTO”, Kompas, 23 Februari 2020.
Image: Bromo Sunrise by Tiket.com