Uni Emirat Arab (UEA) merupakan negara yang menjadi model ‘tradisional’ sovereign wealth fund (SWF). Disebut ‘tradisional’ karena berfokus pada investasi surplus perdagangan komoditas alam migas untuk generasi masa depan. Tetapi keunikan SWF Uni Emirat Arab tidak berhenti di situ. Uni Emirat Arab terdiri atas tujuh emirat independent dan dua di antaranya masing-masing memiliki SWF yang tercatat sebagai di antara SWF terbesar di Timur Tengah dan dunia. Kedua emirat ini adalah Abu Dhabi dan Dubai.
Abu Dhabi memiliki dua SWF terbesar, yakni Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan Mubadala Development Company (MDC). Sementara Dubai memiliki Investment Corporation of Dubai (ICD) sebagai SWF terbesarnya. Selain ketiga SWF terbesar di dua emirat tersebut, pemerintah federal UEA juga memiliki SWF yang bernama Emirates Investment Authority (EIA), meskipun aset kelolaan EIA jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan ketiga SWF yang disebutkan sebelumnya.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh terkait dua model pemanfaatan SWF yang dikembangkan Uni Emirat Arab, artikel ini menyoroti dua SWF terbesar di antaranya. Pertama, Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Kedua, Mubadala Development Company (MDC).
ADIA sebagai Saving Fund
Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) merupakan satu di antara SWF terbesar dunia dengan dana kelolaan mencapai USD 649.175.654.400 (SWF Institute t.t.) Jumlah ini jauh melampaui PDB UEA. Sebagai perbandingan, PDB UEA berada pada angka USD 421,1 miliar pada tahun 2019 (World Bank 2019). ADIA dibentuk pada tahun 1976 dalam konteks lonjakan harga minyak global pada dekade 1970-an. Abu Dhabi memiliki populasi kecil dan tingkat pembangunan yang rendah pada bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan inovasi. Akibatnya, emirat yang memiliki sekitar 10 persen cadangan minyak dunia ini belum memiliki kapasitas yang cukup untuk menyerap cadangan devisa yang diperoleh dari perdagangan minyak secara efektif untuk menyokong pembangunan ekonomi.
Pada saat yang bersamaan, emirat ini juga perlu memastikan keberlanjutan dari kekayaan yang diperoleh dari komoditas migas untuk generasi masa depan, mengingat komoditas migas suatu saat akan habis. Konteks ini direspons dengan pembentukan ADIA sebagai sebuah sovereign savings fund (Abdelal 2009, 318; Castelli & Scacciavillani 2012, 39) yang berfokus untuk menginvestasikan cadangan devisa ke pasar asing untuk memeroleh imbal hasil. Dengan ADIA, Abu Dhabi dapat menyediakan dana bagi generasi masa depan sekaligus membeli waktu untuk pembangunan basis industri bagi sektor-sektor non-migas dalam negeri.
ADIA memiliki beberapa ciri khas dalam strategi investasi maupun tata kelolanya. Pada dekade 1990-an, ADIA melakukan transisi dari strategi investasi yang konservatif menjadi lebih agresif. Target portfolio ADIA meliputi 45-55 persen saham di negara-negara maju, 8-12 persen saham di negara-negara emerging markets, 1-4 persen saham kapitalisasi kecil, 12-18 persen obligasi pemerintah, 4-8 persen obligasi korporat dan lain-lain, 5-10 persen investasi alternatif, 5-10 persen real estate, 2-8 persen saham privat, 0-4 persen infrastruktur, dan 0-5 persen pasar uang. Hasil dari perubahan ini tampak pada pernyataan petinggi ADIA pada tahun 2006 bahwa perusahaan tersebut telah memeroleh imbal balik tahunan sebesar 10 persen (Abdelal 2009, 318). ADIA juga menunjukkan kecenderungan untuk menghindari investasi pada sektor migas maupun investasi di kawasan Timur Tengah.
Pada segi tata kelola, ADIA dikenal dengan tingkat transparansi yang sangat rendah. Hingga kini, setiap laporan tahunan ADIA tidak mencantumkan besaran nominal dari aset kelolaannya. Praktik ini dimungkinkan dengan menjaga investasi ekuitas di bawah 4,9 persen dari saham yang diperdagangkan di pasar modal, sehingga tetap berada di bawah ambang batas hukum yang mewajibkan transparansi (Abdelal 2009, 319). Selain itu, kepemilikan ADIA atas perusahaan-perusahaan yang menjadi target investasinya cenderung terbatas pada kepemilikan saham minoritas, sehingga ADIA tidak terlibat dalam manajemen maupun menentukan arah perusahaan-perusahaan tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam ADIA cukup tinggi, ditunjukkan dengan dominasi anggota keluarga kerajaan Al-Nahyan dalam Jajaran Direksi.
MDC sebagai Development Fund
Mubadala Development Company (MDC) dibentuk pada 2002 untuk menginvestasikan dana yang dimiliki Abu Dhabi pada perusahaan-perusahaan dalam negeri maupun asing dengan tujuan untuk mengembangkan basis industri dalam berbagai sektor di Abu Dhabi. Beberapa sektor yang menjadi target investasi Mubadala adalah sektor energi (khususnya energi terbarukan), keantariksaan, real estate, kesehatan, teknologi, serta infrastruktur dan layanan. Tujuan dari ini adalah untuk menyokong pembangunan ekonomi Abu Dhabi sekaligus diversifikasi ekonomi dari sektor migas ke sektor industri dan layanan (Abdelal 2009, 322).
Berbeda dari ADIA, Mubadala dapat diklasifikasikan sebagai sebuah development fund (Castelli & Scacciavillani 2012, 39).Investasi yang dilakukan Mubadala bersumber dari injeksi modal awal oleh pemerintah dan saham internal, serta dikemas dalam bentukjaringan kemitraan yang seringkali berujung pada pengembangan proyek-proyek di Abu Dhabi maupun negara-negara lain bersama mitra-mitra seperti LeasePlan, General Electric, Boeing, dan Ferrari (Behrendt 2008, 8-9).
Saat ini, Mubadala mengelola aset senilai USD 243 miliar (Mubadala 2021). Proyek-proyek ini kemudian berperan dalam membangun basis industri yang akan mendorong pembangunan dan diversifikasi ekonomi. Sebagaimana ADIA, keterlibatan pemerintah dalam Mubadala cukup tinggi, terlihat dari Jajaran Direksi yang terdiri atas anggota keluarga Al-Nahyan dan menteri-menteri.
Saving Fund vs Development Fund?
Kendati berbagi beberapa kemiripan, baik ADIA maupun MBC secara menarik menghadirkan dua contoh SWF dengan format berbeda. ADIA lebih dekat dengan model saving fund, yang secara umum dicirikan dengan misi awal sebagai precautionary saving atau dana siaga di tengah masa depan yang tidak pasti. Sementara MBC lebih dekat dengan model development fund yang secara misi fokus pada promosi pembangunan, diversifikasi ekonomi dan bahkan ketahanan energi. Jika savings fund berawal dari kebutuhan untuk mengelola volatilitas pendapatan dari ekspor SDA, development fund muncul sebagai jawaban atas kebutuhan alokasi pendapatan untuk promosi pembangunan ekonomi.
Dengan misi awal yang berbeda, fokus dan strategi investasi keduanya pun berbeda. Sebagai misal, jika saving fund lebih terbuka terhadap investasi jangka panjang dan relatif berisiko; development fund umumnya lebih terbuka terjadap investasi jangka menengah atau investasi yang secara umum lebih likuid dan lebih rendah risiko. Oleh karenanya, kejelasan format dan juga misi pokok yang menjadi orientasi dasar SWF merupakan hal kunci. Studi lebih lanjut terhadap pendekatan yang dilakukan UEA melalui ADIA maupun MBC berikut problematika dan tantangan yang mereka hadapi membantu kita memastikan model mana yang seyogyanya lebih kita dorong nanti.
Referensi
- Abdelal, Rawi, 2009. “Sovereign Wealth in Abu Dhabi.” Geopolitics, 14 (2): 317-27.
- Castelli, Massimiliano, & Scacciavillani, Fabio, 2012. The New Economics of Sovereign Wealth Funds. Chichester: Wiley.
- Behrendt, Sven, 2008. “When Money Talks: Arab Sovereign Wealth Funds in the Global Public Policy Discourse.” Carnegie Papers, 12 (2008): 8.
- Mubadala, 2021. “Who We Are” [daring]. Tersedia dalam https://www.mubadala.com/en/who-we-are/about-the-company (diakses 28 Mei 2021).
- SWF Institute. “Abu Dhabi Investment Authority (ADIA)” [daring]. https://www.swfinstitute.org/profile/598cdaa50124e9fd2d05a79b (diakses 27 Mei 2021).
- World Bank. “GDP (Current US$ – United Arab Emirates)” [daring]. Tersedia dalamhttps://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2019&locations=AE&start=1976&view=chart (diakses 28 Mei 2021). ●
For Quotation: M. Aryo Rasil Syarafi, “Aplikasi Saving Fund dan Development Fund di SWF Uni Emirat Arab”, Focus: Sovereign Wealth Fund, EmergingIndonesia.com, 24 January, 2022