Lima Rekomendasi EIP terkait Sovereign Wealth Fund/SWF Indonesia

Melalui serangkaian brainstorming internal dan pendalaman yang hidup, peneliti-peneliti Emerging Indonesia Project/EIP mengungkap beberapa fakta, perkembangan dan pelajaran menarik terkait Sovereign Wealth Fund/SWF. Agak berbeda dari kebanyakan analisis tentangnya, para peneliti EIP berusaha melihat perkembangan SWF Indonesia dalam konteks yang tidak terpisah dengan perkembangan umum yang ada berikut arti pentingnya bagi emerging countries atau negara-negara udaya. Dari sana pula sejumlah usulan kebijakan mengemuka terkait SWF Indonesia. Berikut ringkasan eksekutifnya.

.

Sejak tahun lalu, kita punya Sovereign Wealth Fund (SWF). Nama resminya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). Dibentuk dengan PP 74/ 2020 pada 14 Desember 2020. Para direksinya sudah dilantik Presiden pada 16 Februari 2021. Modal awalnya, sesuai PP 73/2020, adalah Rp 15 triliun pada 2020 dan janji Rp 45 triliun pada 2021. PP 74/2020 itu adalah turunan dari UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (atau Omnibus Law), terutama mulai Bab X mengenai Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional (Dharmaputra 2021a; Yakti 2021). Karenanya, SWF kita tentu lebih diutamakan diabdikan ke manfaat ekonomi, yang terkait proyek-proyek strategis nasional kita, terutama pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung secara masif.

Pembentukan LPI bersamaan dengan fenomena perkembangan pesat kemunculan SWF-SWF baru di awal abad ke-21. Di 1990 total SWF dunia mengelola USD 500 miliar. Pada 2005, ada 30 SWF dengan dana USD 2 triliun. Pada 2018, meningkat menjadi 80 SWF dengan dana terkelola sekitar USD 8 triliun (Susanto 2021). Ada indikasi bahwa pembentukan beberapa SWF di tahun-tahun awal abad ke-21 ini dipengaruhi oleh dinamika geopolitik, berupa pergeseran kemakmuran dan kekuatan dari negara-negara maju (OECD) ke negara-negara berkembang (non-OECD) yang tengah tumbuh signifikan secara ekonomi.  Dari 22 SWF terbesar, beberapa di antaranya memang terbentuk di negara-negara bukan sekutu tradisional Amerika Serikat, termasuk di antaranya Cina dan Rusia. Karenanya, pembentukan SWF-SWF di negara-negara non-OECD tentu mengindikasikan dinamika geopolitik penting, sebagai konsekuensi dari strategi pasang negara-negara udaya dengan pendekatan kapitalisme negara.

SWF menjadi penting bagi negara udaya (emerging countries), terutama yang mengandalkan perusahan-perusahan negara (state enterprises). Globalisasi membuka peluang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan negara untuk berkembang di tingkat global. Mereka itu bisa menyerap sumberdaya luarnegeri untuk peningkatan pembangunan dalam negeri. Di beberapa negara udaya SWF dipakai oleh negara untuk mendapatkan keuntungan dari luar negeri atau untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Ringkasnya, pembentukan SWF adalah upaya penggabungan kekuatan negara dengan kekuatan kapitalisme sebagai alternatif lain dari kapitalisme liberal –yang hanya mendasarkan diri pada free markets dan kepemilikan privat.

Kita berharap LPI bisa berkontribusi positif dan maksimal bagi pembangunan nasional kita. Dalam membuat risalah EIP edisi ini, kita berharap bisa ikut memaksimalisasi kesuksesan dan meminimalisasi risiko ketidakberhasislan LPI. Tentu saja, di awal pembentukan LPI itu, kita belum bisa mengkritisi praksis LPI kita itu. Yang bisa kita lakukan adalah mengkritisi ide dasarnya. Kalau ide dasarnya kuat maka praksisnya bisa diharapkan bisa sukses. Kalau ide dasarnya tidak kuat maka praksisnya sudah pasti tidak sukses. Kita bisa menggunakan beberapa prinsip dari Santiago Principles dan Linaburg-Maduell Tranparency Index (Lampiran 1 dan 2)  untuk mengkritisi ide dasar SWF kita. Karenanya, dengan melihat PP 74/2020 kita menimbang prioritas peruntukannya, sumber dananya, tata kelolanya, dan pemodelannya.

Pokok & Tengara

Dilihat prioritas peruntukannya, di Pasal 1 PP 74/2020 ditulis fokus pada tujuan mendapatkan keuntungan, manfaat ekonomi dan manfaat lainnya, selain juga pertumbuhan ekonomi demi mencapai Indonesia Emas 2045. Lalu di Ayat 2ditulis target manfaat sosial dan kemanfaatan umum. Yang dirujuk adalah Pasal 154 Ayat 1, UU 11/2020, menyebutkan sebagai peningkatan investasi, penguatan perekonomian, dan penciptaan pekerjaan.  Kendati jelas bukan untuk stabilisasi, LPI kita kurang tegas apakah untuk pembangunan infrastruktur. Contoh SWF di beberapa negara menunjukkan prioritas yang jelas.

Di Norwegia, SWF-nya jelas peruntukannya, yaitu untuk dana pensiun di masa depan atau bahkan untuk sektor-sektor enerji terbarukan (Wardhana 2021). Di Rusia, SWF yang pertama dibentuk diprioritaskan sebagai dana stabilisasi. Kemudian, SWF yang kedua dibentuk diprioritaskan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan RDIF juga secara jelas demi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendanaan vaksin Sputnik V (Dharmaputra 2021b). Di India, dari namanya saja sudah jelas, National Infrastructure Investment Fund (NIIF) fokus untuk pembangunan infrastruktur. Di Tiongkok, SAVE-IC dan CIC punya intensi yang berbeda, tetapi diumumkan jelas (Nauvarian 2021b). Di Chili, SWF pertamanya untuk pensiun, dan SWF keduanya untuk stabilisasi ekonomi dan sosial (Hikmawati 2021b). Dari contoh SWF di beberapa negara tersebut tampak fokus LPI kita tidak lugas. Beberapa istilah muncul: peningkatan investasi, penguatan perekonomian, penciptaan pekerjaan, manffat sosial, kemanfaatan umum, dampai pertumbuhan ekonomi demi mendapai Indonesia Emas 1945. Bahkan tidak ditegaskan soal pembangunan infrastruktur.

Dilihat sumber dana, dana LPI diperoleh dari aset negara, aset BUMN, dan sumber lainnya. Di Pasal 157 juga diatur pemindahan aset negara menjadi aset lembaga. Di PP 73/2020 diatur penyertaan modal negara dan modal lainnya dengan modal awal Rp 15 triliun dan modal lanjutan yang harus disediakan negara sebesar Rp 75 triliun di akhir 2021 melalui imbreng saham, Barang Milik Negara (BMN), dan piutang negara.  Ada yang menarik, di Pasal 51 PP 74/2020 diatur kalau modal berkurang, maka pemerintah perlu menambahnya. Tidak dijelaskan persentase investasi pemerintah (Dharmaputra 2021a).

Dibanding SWF-SWF di tempat lain, sumber dana SWF kita, LPI,  kurang tegas diumumkan. Di NIIF India, misalnya, diatur dana pemerintah adalah 49 persen (Nauvarian 2021b). Selebihnya yang 51 persen dari swasta dalam negeri dan dari investasi dari luar negeri. Di Rusia, misalnya pula, RDIF secara tegas dominasi pendanaan berasal dari luar negeri, berupa kemitraan dengan banyak negara (Dharmaputra 2021b). Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa pendanaan SWF kita akan bersifat hybrid, dalam arti ada dari dalam negeri dan dari luar negeri. Tidak seperti RDIF yang berasal dari luar negeri saja. Tetapi tidak seperti NIIF India yang sumber dananya juga hybrid tetapi jelas persentase dana pemerintah, LPI kita tidak menegaskan persentase dana dari pemerintah. Selain itu, sumber dana potensial untuk LPI kita masih bisa berasal dari komoditas kita. Kendati tidak seperti Norwegia atau UEA yang savings dari komoditasnya sampai melebihi GDP mereka, atau SAVE-IC di Tiongkok yang asetnya enam persen dari GDP-nya, SWF kita mestinya masih bisa berharap dana savings dari komoditas kita (Nauvarian 2021b).

Dilihat tata kelolanya, LPI kita dikelola oleh para profesional. Anggota Supervisory Board dan Board of Directors adalah kalangan profesional. Belajar dari SWF di Malaysia dan di Brazil, ini memang perlu kita lakukan. Ada dua SWF di Malaysia, yaitu Khazanah National Berhad (KNB) dan 1Malaysia Development Berhad (1MDB). KNB berhasil, sementara 1MDB gagal. Keduanya sama-sama mengandalkan dana utang. Aset KNB USD 30 miliar dari PDB Malasia yang USD 364,7 miliar. KNB tidak gagal karena merespons penurunan tingkat kepercayaan publik dengan reformasi pada tahun 2004. Sejak reformasi ini, KNB merilis laporan tahunan serta mengupayakan peningkatan tranparansi dan akuntabilitas. Aset 1MDB pada 2015 USD 10 miliar. 1MDB gagal dikarenakan terlalu besarnya peran pemerintah eksekutif, dan ketiadaan transparansi, yang memberikan jalan bagi praktik-praktik korupsi, suap, pencucian uang, pengeluaran pernyataan palsu, dan  manipulasi harga obligasi (Syarafi 2021a). Di Brazil, Brazilian Sovereign Fund (BSF) mengalami kegagalan, sementara Social Fund belum mampu menjanjikan keberhasilan, karena pengelolaannya memberi keleluasaan eksekutif terlalu besar, monopoli pemerintah federal, dan disiplin fiskal (Hikmawati 2021a).

Dilihat pemodelannya,kita menemukan bahwa para pejabat terkait pembentukan LPI menjadikan SWF Rusia, yaitu Rusia Direct Investment Fund (RDIF) (Dharmaputra 2021b), dan SWF India, yaitu National Infrastructure Investment Fund (NIIF) (Nauvarian 2021a),  sebagai rujukan atau model dari LPI kita. Tentang RDIF bisa dicatat beberapa hal sebagai berikut. RDIF baru saja dibentuk 2011 secara khusus ditujukan menarik modal asing untuk berinvestasi di Rusia. Sampai tahun 2020, RDIF berhasil mengumpulkan USD 40 miliar dari kemitraan dengan 18 negara, dipakai untuk membiayai 90 persen kegiatan ekonomi, 60 persen investasi di bidang teknologi, dengan portfolio RDIF setara dengan 5 persen GDP Rusia. Tentang NIIF bisa dicatat beberapa hal. Sumber dananya masih didominasi pemerintah India, dengan persentasi 49 persen, sedangkan 51 persen lainnya dari investor swasta domestik dan investor asing. NIIF menjadi instrumen diplomasi ekonomi India dalam mengundang investasi asing. Pada 2020 NIIF mengelola dana sebesar USD 4,4 miliar, atau tak lebih dari 1 (satu) persen PDB India.

Atas dua model itu, dua hal mesti dicatat. Pertama, baik RDIF maupun NIIF masih termasuk SWF baru, sehingga track-record-nya belum solid untuk dijadikan rujukan. Kedua, dana yang dikelola oleh RDIF maupun NIIF termasuk masih kecil dibanding GDP, tidak lebih dari 1 (satu) persennya, sehingga bisa dikatakan belum signifikan dalam menjadi instrumen pembangunan nasional.

Kendati ada kekurangan pada kelugasan dasarnya, LPI kita ternyata cukup mendapat respons positif dari investor luar. Ketika LPI dibentuk, kemudian muncul komitmen dari beberapa negara untuk ikut mendanai. Dari dalam negeri, pemerintah sudah mengalokasi dana awal Rp 15 triliun, dan akan ditambah Rp 45 triliun di tahun anggaran 2021. Dari luar negeri, komitmen datang dari investor-investor asal Kanada, Jepang, Amerika, UEA, dan lain-lain. Kanada menjanjikan USD 2 miliar atau sekitar Rp 28,2 triliun (kurs Rp 14.100). Amerika Serikat lewat lembaga International Development Finance Corporation (IDFC) sebesar USD 2 miliar atau sekitar Rp 28,2 triliun. Jepang melalui Japan Bank of International Cooperation (JBIC) sebesar USD 4 miliar atau sekitar Rp 56,4 triliun. UEA terbanyak, Rp 144 triliun. Abu Dhabi Rp 145 triliun. Komitmen itu masih berupa komitmen yang masih perlu realisasinya. Komitmen-komitmen itu menunjukkan adanya kemungkinan sumber dana dari luar. Yang ini perlu ketegasan dalam PP-nya.

Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi pertama, diperlukan visi dan tujuan LPI yang lebih lugas. Ini bisa dicapai, semisal, dengan mendasarkan pada landasan hukum yang lebih kuat (setidaknya Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP, tetapi lebih baik jika ada Garis Besar Haluan Negara/GBHN). Selain itu, perlu ada koordinasi yang baik antara Bappenas dan LPI dalam menentukan prioritas investasi.

Rekomendasi kedua, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pada sumber dana LPI. Ini bisa dilakukan dengan memulai eksplorasi sumber dana alternatif yang bersifat endogen dari Indonesia sendiri, menyiapkan cadangan dari hasil perdagangan komoditas unggulan/commodity savings (seperti sawit, tetapi lebih baik komoditas-komoditas yang menunjukkan prospek berkelanjutan seperti nikel). Eksplorasi semacam ini akan melindungi kemandirian LPI dari pihak-pihak asing (karena sumber dana tidak lagi terlalu banyak berasal dari pinjaman luar negeri), sekaligus berkontribusi dalam pemberdayaan dan efisiensi BUMN beserta institusi-institusi lain terkait.

Rekomendasi ketiga, diperlukan strategi pengalokasian dan pengelolaan dana secara kreatif, efisien, dan prudens. Dalam hal ini, Indonesia dapat belajar dari SWF Singapura (Syarafi 2021b), yang menunjukkan independensi, efisiensi, dan kepiawaian ala privat dalam merancang dan menerapkan strategi investasi sehingga aktivitas investasi dapat terfokus pada penyeimbangan antara stabilitas jangka panjang dan stabilitas jangka pendek.

Rekomendasi keempat, Indonesia perlu memastikan profesionalisme, transparansi, dan non-politisasi LPI. Ini dapat dilakukan, di antaranya, dengan mengadopsi Prinsip-prinsip Santiago (Santiago Principles), memenuhi poin-poin penilaian Indeks Transparansi Linaburg-Maduell, memperjelas aturan terkait konflik kepentingan, dan meneladani praktik baik (best practices) dari penggunaan social welfare oleh Norwegia dan Chili. Sebaliknya, pelajaran mengenai kesalahan tata kelola yang perlu dihindari dapat diperoleh Indonesia dari kasus 1MDB di Malaysia.

Rekomendasi kelima, aktivitas LPI perlu diintegrasikan ke dalam tujuan untuk mendukung kebangkitan ekonomi Indonesia sebagai negara udaya. Bangsa kita dapat mengambil pelajaran berharga dari integrasi birokratik yang dilakukan Tiongkok secara kolaboratif terhadap badan-badan pemerintah dalam rangka mencapai tidak hanya tujuan-tujuan ekonomi, namun juga tujuan-tujuan diplomatik.


Referensi

  • Dharmaputra, Radityo, 2021a. “Persoalan Regulasi terkait Pendirian dan Pengelolaan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia.”
  • Dharmaputra, Radityo, 2021b. “SWF di Rusia: Dari Stabilisasi ke Pendorong Pertumbuhan Ekonomi.”
  • Hikmawati, Indah, 2021a. “SWF di Brazil: Brazilian Sovereign Fund dan Social Fund.”
  • Hikmawati, Indah, 2021b. “SWF di Chili: Pension Reserve Fund dan Economic and Social Stabilization Fund.”
  • Nauvarian, Demas, 2021a. “SWF di India sebagai Teladan Model Investasi Infrastruktur Domestik bagi Indonesia.”
  • Nauvarian, Demas, 2021b. “SWF di Tiongkok: Dua Model dan Dualisme Intensinya.”
  • Susanto, Joko, 2021. “SWF dan Negara Udaya.”
  • Syarafi, Mochammad Aryo Rasil, 2021a. “SWF di Malaysia: Pelajaran terkait Penggunaan Development Fund untuk Pembangunan Ekonomi dan Risiko Penggunaan Hutang sebagai Sumber Pendanaan.”
  • Syarafi, Mochammad Aryo Rasil, 2021b. “SWF di Singapura: Penggunaan Dua SWF secara Strategis untuk Tujuan Berbeda.”
  • Syarafi, Mochammad Aryo Rasil, 2021c. “SWF di Uni Emirat Arab: Penggunaan Savings Fund dan Development Fund.”
  • Wardhana, Agas, 2021. “SWF di Norwegia: Government Pension Fund Global.”
  • Yakti, Probo Darono, 2021. “Sejarah SWF di Indonesia.” ●

Image: Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, saat menjadi pembicara utama pada Webinar bertajuk “Peluang Pendanaan SWF untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Indonesia”. Dokumentasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

For Quotation: I. Basis Susilo, “Rekomendasi EIP terkait Sovereign Wealth Fund/SWF Indonesia”, Focus: Sovereign Wealth Fund, EmergingIndonesia.com, 20 January, 2022.

Written by
I. Basis Susilo

Head of Advisory Board of Emerging Indonesia Project/EIP. Editor-in-Chief of EmergingIndonesia.com. Email: i.b.susilo@emergingindonesia.com

View all articles
Written by I. Basis Susilo

Kontak

Ikuti Kami

Dapatkan update berita, ulasan dan kegiatan kami dengan cara follow akun sosial media kami berikut ini.