Crash atau Pitstop? Prospek Emerging Indonesia di Tengah Pandemi Korona

EIP FORUM 20 MEI 2020

Narasumber: Makmur Keliat, Ph.D. Dosen Senior Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia; Evan A. Laksmana, Ph.D. Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Indonesia. Chair/Mangkuwicara: Joko Susanto, M.Sc. Direktur Eksekutif Emerging Indonesia Project/EIP. Transkrip: Indah Hikmawati, Demas Nauvarian, M. Aryo Rasil Syarafi. Waktu: Rabu, 20 Mei 2020, 21.00-22.00 WIB. Venue: Aula Indonesia Udaya, ZOOM ID 978 5327 6306. Livestream Youtube Kanal Emerging Indonesia Project. Kutipan/Sitasi: Untuk kutipan/sitasi pastikan untuk mencantumkan keterangan sumbernya sebagai berikut: EIP Forum, “Crash atau Pitstop? Prospek Emerging Indonesia di Tengah Pandemi Korona”, Featured Transcript No. 1, Vol. 1, 20 Mei 2020, sebagaimana terdokumentasikan dalam tautan seri podcast berikut ini: https://emergingindonesia.com/2020/05/26/featured-transcript-eip-forum-no-1-vol-1/


FEATURED TRANSCRIPT

Joko Susanto: Selamat Malam, Salam Indonesia Udaya. Selamat datang di edisi perdana EIP Forum, persembahan dari Emerging Indonesia Project/EIP. Sebuah prakarsa yang bekerja bagi penajaman pemahaman dan kebijakan terkait transformasi Indonesia dari negara berkembang menjadi emerging country atau negara udaya.

Saudara sekalian, kita hidup di masa krusial yang menentukan nasib kita, nasib bangsa kita, 10, 20, atau bahkan 30 tahun kedepan. Ada banyak nama yang diberikan bagi masa depan yang dibayangkan itu. Ada yang menyebutnya dengan Indonesia Maju, Indonesia Adil Makmur, Indonesia Emas, Indonesia Sejahtera, dan banyak lagi nama yang lainnya. Apa pun itu, semuanya mengandaikan satu Indonesia yang lebih baik, yang lebih sejahtera, yang lebih bermartabat, dan lebih dekat pada tujuan yang dicitakan oleh pendiri bangsa.

Menjadi momen krusial bagi masa depan yang diinginkan itu adalah tahun-tahun sekarang. Iya, sekarang. Hari-hari ini kita sesungguhnya memasuki satu periode yang disebut sebagai puncak bonus demografi, yaitu satu masa di mana rasio tenaga produktif kita tersedia secara berlimpah (dan) bahkan mencapai titik tertinggi. Ini adalah peluang besar bagi negara dan bangsa kita untuk menyusun fondasi bagi kemajuan atau pun kesejahteraannya.

Sayangnya, periode puncak itu tidak berlangsung lama. Dalam hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), puncak demografi itu berlangsung empat tahun saja. Dimulai tahun 2020 ini dan berakhir pada 2024 nanti. Setelah itu akan bergerak turun. Tapi justru di masa itu, Indonesia harus menghadapi suatu situasi pandemi. Suatu situasi tak terduga, pandemi COVID-19 atau disebut juga sebagai Pandemi Korona, yang tidak hanya menghadirkan gencatan ekonomi yang mendunia, tetapi juga menghadirkan sejumlah ketidakpastian yang mengubah banyak asumsi dasar.

Pertanyaannya adalah, seberapa jauh situasi pandemi ini menjauhkan kita dari peluang emas kemajuan? Kesulitan-kesulitan apa yang akan muncul dalam kaitannya? Apakah ia akan menghasilkan situasi crash atau situasi pitstop? Situasi pitstop, sebuah situasi di mana kita jatuh kemudian bangkit kembali. Atau situasi crash, di mana kita jatuh dan tidak bangkit kembali.

Hari ini, kita beruntung, kita ditemani (dua) pembicara ahli. Yang pertama adalah Dr. Makmur Keliat. Beliau adalah dosen senior pada Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Selamat Malam, Pak Makmur Keliat.

Makmur Keliat: Selamat Malam, Pak Joko.

Joko Susanto: Terima kasih sudah menyempatkan hadir. Pembicara berikutnya adalah Dr. Evan A. Laksmana. Beliau adalah peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS). Selamat Malam, Pak Evan.

Evan A. Laksmana: Selamat Malam, Pak Joko.

I.

ULASAN UMUM

Joko Susanto: Saudara-saudara sekalian, sebelum kita mulai lebih jauh, saya ingin memberikan kesempatan pada Pak Makmur untuk menguraikan sedikit, sesungguhnya seberapa krusial situasi pandemi kali ini? Konsekuensi-konsekuensi ekonomi politik apa yang harus kita tanggung dalam kaitannya?

Makmur Keliat: Ekonomi dapat bekerja apabila manusia ditempatkan sebagai agen. Ketika pandemi terjadi, peranan manusia sebagai agen ekonomi menjadi dibatasi. Hal ini lantas mengarah pada sisi supply dan demand yang akan mengalami penurunan, sehingga nantinya dapat mengarah pada segi finansial dan menyebabkan terjadinya financial shock. Problem utama yang dihadapi semua pemerintahan saat ini ialah: “Apakah menyelamatkan ekonomi atau manusia terlebih dahulu?” Saat ini, hampir semua kebijakan yang diambil pemerintah mengarah kepada upaya-upaya penyelamatan mausia terlebih dahulu, baik melalui lockdown atau PSBB.

Dalam tingkat nasional, pemerintah lantas menggunakan instrumen-instrumen besar yang dapat dibagi ke dalam empat kategori, yakni (1) instrumen fiskal, pemerintah Indonesia tidak lagi terlalu ketat membatasi defisit GDP sebanyak 3 persen di APBN; (2) instrumen moneter, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan quantitaive easing untuk pasar sekunder, serta melakukan pembelian surat berharga di ranah fiskal dengan memberikan ruang intervensi bagi primary markets terhadap obligasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan; (3) kebijakan kesehatan, seperti melakukan massive test dan rapid test; serta (4) melakukan pembatasan terhadap kegiatan manusia.

Sementara pada tingkat internasional, terlihat bahwa rezim keuangan bekerja sama dengan rezim kesehatan. Hal ini dapat dilihat melalui pertemuan antara IMF dan WHO, serta antara WTO dan WHO. Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa permasalahan pandemi beserta konsekuensinya tidak dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan satu pendekatan. Namun masalahnya, semenjak awal kebijakan fiskal dan moneter tidak dirancang untuk menghadapi pandemi, sehingga perlu adanya beberapa penyesuaian yang harus dilakukan.

Joko Susanto: Terima kasih. Saya ke Mas Evan kali ini. Pak Makmur Keliat sudah memberikan uraian dalam sudut pandang ekonomi politik. Kalau di luar ekonomi politik, apakah terdapat konsekuensi-konsekuensi serius (pandemi) yang dapat mengoreksi prospek emerging Indonesia sejauh ini?

Evan A. Laksmana: Baik, terima kasih. Saya rasa ada tiga hal penting. Yang pertama, kalau kita kembali ke pertanyaan di awal; apakah kita crash atau pitstop, buat saya tidak dua-duanya. Tapi yang pasti kita kembali ke titik awal. Jadi kita kembali ke starting line di mana kita harus me-reset apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang sudah pasti terjadi, baik itu dari sisi ekonomi, politik, keamanan, maupun politik luar negeri. Saya rasa kita harus berpikir ulang kembali seperti layaknya tahun 1998.

Poin kedua yaitu karena ini hal yang baru dari segi skala dan persoalan yang ada terkait dengan COVID, saya rasa sekarang waktunya untuk kita sedikit belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya meskipun tidak ada pengalaman yang ‘pas’ karena memang semuanya baru. Tapi, saya rasa kalau experience tahun 1998, –saat kita berusaha memulihkan diri dan memulai take-off dari sisi apa yang dulu di era Pak SBY juga dianggap sebagai ‘An Emerging Indonesia’– itu saya rasa memang ada empat big categories.

Dari sisi politik, kita sendiri harus memperbaiki bukan cuma state capacity tapi juga state quality untuk men-deliver good governance. Dari sisi ekonomi, Pak Makmur tadi sudah bahas. Dari sisi foreign policy, saya rasa juga kalau kita lihat experience tahun 2003 misalnya, di mana kita setelah recover dari (krisis) 1998 kita bahkan bisa mendorong untuk ASEAN Charter dan seterusnya, dan of course dari sisi (domestic) security, ada banyak persoalan keamanan domestik yang pelan-pelan kita selesaikan, termasuk Aceh. Nah, jadi ada banyak variabel yang menurut saya kalau kita mau bicara emerging Indonesia memang sangat terkait dan mayoritas memang ada di domestik.

Nah, yang ketiga saya rasa adalah untuk langkah ke depannya. Kalau tadi Pak Makmur bilang empat instrumen negara, kalau saya mungkin menyoroti dari sisi security dan foreign policy-nya. Kalau dari sisi foreign policy, saya rasa kita harus menerima kenyataan bahwa 4-5 tahun terakhir ini sebenarnya pemerintah Indonesia lebih sibuk mengandalkan multilateralisme, lebih fokus pada proses-proses yang ada, dan kita kurang fokus pada outcome yang mau kita cari dan yang mau kita kejar. Sehingga, secara foreign policy ada banyak pandangan yang bilang, misalnya, bahwa kita mulai kurang nimble secara geopolitik. Semuanya kita harus multilateralisme.

Jadi, saya rasa opsi-opsi baru antara multilateralisme dan unilateralisme –seperti minilateralisme antara dua atau tiga negara, semisal antara kita, Malaysia, dan Filipina; kita, Vietnam, dan Malaysia– saya rasa sesuatu yang patut kita pertimbangkan bersama. Yang kedua mungkin dari sisi defense diplomacy juga kita lihat bahwa dengan adanya permasalahan pandemi ini anggaran pertahanan berkurang, semua rencana kita untuk Renstra minimum essential force juga belum begitu jelas, apalagi kalau misalnya kita masih berencana mau pindah ibukota, di mana biayanya saja minimal kurang lebih setara dengan satu tahun anggaran pertahanan.

Jadi, saya rasa dari sisi kapabilitas di tengah situasi ekonomi yang sulit kita justru harus meningkatkan (dan) memperkuat jaringan defense diplomacy di kawasan, terutama dengan negara-negara seperti Jepang, Korea, dan seterusnya. Saya rasa ‘the biggest lesson’ dari foreign policy kita persoalan COVID ini adalah, yang pertama kita bukan leader. Kita ikutan, kita ada masalah dengan misalnya, soal vaksin, riset untuk vaksin, supply chain untuk medical supplies, dan semua vulnerability kita, di mana kita lebih sifatnya kalau kita bekerja sama, kita butuh sesuatu dan kita belum bisa set term dan agenda di persoalan kebijakan luar negeri.

So, saya rasa kita butuh fundamental rethinking (yang mengakui bahwa) sebenarnya foreign policy (kita) selama ini kita tidak cukup berhasil dan tidak kita invest untuk persoalan-persoalan di luar multilateralisme. Apa yang kita bisa lakukan? Nah, ini mengapa saya bilang di awal tadi bahwa ini memang menjadi masalah besar (terkait) bagaimana kita meng-handle COVID (tadi). Tapi buat saya ini juga kesempatan untuk ‘restart the clock’, untuk kita mulai dari awal lagi, dan kita mulai berpikir besar (tentang) apa yang bisa kita lakukan dari sisi kebijakan-kebijakan. Mungkin dari saya itu saja, nanti kita bisa diskusi lebih lanjut.

II.

EKSPLORASI & ELABORASI

Joko Susanto: Baik, Mas Evan. Ini menarik, tentang ‘restart’, terus kemudian juga tentang ‘fundamental rethinking’, kemudian diplomasi dan lain-lain. Pertanyaan saya, apakah itu semua tidak terlalu mewah sekarang? Ketika orang sekarang tengah fokus pada persoalan survival berkaitan dengan epidemi. Apakah bicara soal pertahanan dan segala macamnya tidak menjadi terlalu mewah sekarang? Kemudian yang kedua, terkait dengan ‘restart’. Ketika kita ‘restart’, berarti ada momentum yang hilang, sementara puncak bonus demografi kita ini tidak bisa ditunda. Kira-kira bagaimana ini, Mas? Padahal, puncak demografi itu merupakan peluang besar yang kita punya kalau mau bangkit, ‘leaping forward’ atau lompat menjadi emerging (power) yang diharapkan tadi. Sebelum ke Pak Makmur, silakan, Mas Evan.

Evan A. Laksmana: Memang hal-hal yang kita sekarang rasa mewah memang ada bagiannya. Artinya memang tentu ada bagian pemerintah yang fokus kepada hal-hal yang di depan mata. Kapasitas kesehatan, testing, dan sebagainya. Akan tetapi, harus ada sebagian pemerintah, sebagian kecil saja, yang fokus pada langkah-langkah kedepan, hal-hal yang dianggap mewah tadi. Sebagai contoh, misal, dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir ini, negara-negara seperti Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan seterusnya, memang mereka fokus pada apa yang di depan mata. Tetapi mereka juga invest pada hal-hal seperi ventilator, medical supply, masker, bahkan salah satu yang diinvestasikan di AS adalah, di Departemen Pertahanannya, yaitu Office of Net Assessment, yang tugasnya adalah untuk memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkan orang lain, sebab masih lima hingga sepuluh tahun kedepan.

Tetapi bila kita tidak investasikan apa yang kita pikirkan, terkait fundamental rethinking, mungkin nanti pada saatnya kita harus memulai segala sesuatu dari awal lagi, kita tidak ada blueprint, kita tidak ada opsi-opsi kebijakan, maka kita akan menghabiskan waktu lagi untuk memikirkan apa yang bisa kita lakukan setelah kita pulih.

Jadi kita harus siap, minimal dengan opsi-opsi yang terkesan mewah, namun setidaknya kita telah bahas dan pikirkan. Bila dari sisi bonus demografi, saya merasa bahwa persoalan bonus demografi itu sifatnya hanya potensi. Dalam arti bahwa segala sesuatu yang kita punya, bila kita berbicara masalah emerging Indonesia, bukan ditentukan dari raw materialnya, tetapi dari sistemnya. Namun, human capital kita terkait bonus demografi ini adalah raw material. Namun bila sistemnya tidak berjalan, bagaimanapun bonus demografinya, potensi kita tidak akan terwujudkan. Jadi saya rasa yang perlu dibenahi adalah sistem institusi politik-ekonominya. Soal bonus demografi, negara-negara lain yang tidak memiliki bonus demografi pun bisa bangkit dan thriving. Kuncinya bukan di raw material-nya, tapi kuncinya ada di institusi dan sistem politik ekonominya.

Joko Susanto: Terima kasih, Mas Evan. Menarik pendapat Mas Evan. Meskipun kondisi krisis, kita tidak boleh lupa kapasitas kita. Singkat saja, Mas Evan, dari tiga hal yang anda sampaikan, kita ini sudah seberapa persen berpikir ke sana?

Evan A. Laksmana: Baru lima persen. Itu pun juga lima persen hanya karena, misal, hendak membeli alutsista tipe apa 50 tahun ke depan. Jadi mungkin menurut saya, yang pemikiran jangka panjang masih lima hingga sepuluh persen.

Joko Susanto: Sekarang saya beranjak ke Pak Makmur. Pak Makmur, menarik sekali terkait empat poin yang bapak sampaikan. (Instrumen) fiskal, quantitative easings, kebijakan kesehatan, dan pembatasan pergerakan. Persoalannya, bukankah semua negara melakukan itu? Sementara tantangan yang kita hadapi agak sedikit berbeda. Kita tidak memiliki banyak waktu. Dalam empat tahun ini, bonus demografi kita mencapai puncaknya. Apa cukup kita hanya melakukan yang sama? Sementara kita memiliki situasi yang agak khas bila ingin tetap pada jalur emerging ini.

Makmur Keliat: Saya kira ketika terjadi suatu masalah bencana atau krisis, di mana setiap instrumen yang digunakan bersandar pada kewenangan atau sumber daya yang dimiliki. Dalam hal ini, empat instrumen tadi, semuanya berasal dari negara. Instrumen moneter dan fiskal bukan khas dari Indonesia. Instrumen pembatasan sosial dan kesehatan juga bukan khas dari Indonesia, tapi itu adalah peran dari negara. Tidak ada institusi di luar negara yang bisa memobilisasi sumber daya sekuat negara. Yang jadi masalah adalah apakah instrumen-instrumen yang digunakan itu memang nanti cukup efektif untuk mencapai sasaran yang dimaksudkan.

Jadi, sebagai misal, pemerintah sudah menyatakan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) bahwa defisit anggaran boleh melebihi tiga persen dalam rangka mengatasi masalah yang dimunculkan oleh COVID-19. Apabila ada kenaikan defisit menjadi lima persen,  pertanyaannya adalah apakah hal ini membantu atau tidak. Pilihannya itu. Bukan soal instrumennya, tapi masalah alokasi anggaran tersebut apakah tepat.

Ketika Bank Indonesia menggunakan instrumen moneternya, seperti melonggarkan biro wajib minimum, melakukan pembelian di pasar primer dan sekunder, apakah itu memang dimaksudkan untuk melindungi kelompok yang paling membutuhkan? Ini adalah pertanyaan yang bisa dijawab dalam proses yang sedang berjalan. Ini yang harus kita monitor. Tapi instrumen kebija-kan itu bukan sesuatu yang khas Indonesia. Artinya fiskal dan moneter ini dilakukan oleh semua negara. Dalam konteks ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah terkait institusi kita. Apakah perangkat kelembagaan kita efektif sesuai dengan yang dirancang dalam kebijakan fiskal.

Banyak kritik yang bertanya, apakah sampai? Bukan menggugat instrumen kebijakannya, tapi eksekusi(nya). Jadi dalam kondisi saat ini, kita harus berpikir untuk bertahan dulu. Ke depannya, ada beberapa skenario. Skenario pertama, yang menyatakan bahwa kurva kita berbentuk V. Jadi tahun depan sudah muncul kembali, IMF mengatakan demikian. Tapi kemudian Direktur IMF mengatakan tidak demikian. Skenario kedua, ada yang mengatakan berbentuk W. Ada yang mengatakan bahwa kita akan jatuh lagi, dan COVID-19 akan muncul lagi. Skenario ketiga, ada yang mengatakan berbentuk U. Jatuh, datar, lalu beberapa tahun kedepan baru bangkit. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa memprediksikan bila agen ekonominya tidak berjalan. Saya sangat pesimistis bila ekonomi bisa tumbuh dengan normal di tengah pandemi, pasti ada penurunan dan kemunduran.

III.

TANYA JAWAB

Joko Susanto: Ada pertanyaan menarik dari Sdr. Moch Yunus, –salah satu dari diskusanEIP Forum yang mengikuti perbincangan ini melalui Zoom ID Aula Indonesia Udaya. Pertama, ada problem mengenai timing. Ketika negara-negara di Asia Tenggara mulai turun, grafik di Indonesia justru naik. Kedua, ada problem tentang orkestrasi kebijakan yang mana pemerintah pusat dan daerah terkesan berjalan secara sendiri-sendiri. Bagaimana pendapat Anda mengenai kedua problem tersebut?

Makmur Keliat: Otoritas untuk menentukan Pembatasan Sosial Berskala Besar/PSBB berada di tangan pemerintah daerah. Ketika Jakarta memutuskan untuk memperpanjang PSBB, maka harus dihargai. Begitu pula dengan daerah lain yang memilih untuk menghapuskan PSBB, harus dihargai pula. Perlu ditekankan bahwa Indonesia tidak seperti Singapura yang hanya terdiri atas satu pulau. Akan tetapi, Indonesia memiliki wilayah geografis yang sangat tersebut, sehingga memunculkan semangat untuk bekerja sama antara pusat dan daerah.

Hanya saja ketika memasuki persoalan politik, maka dapat memunculkan isu-isu yang beragam. Tantangannya ialah ketika vaksin ditemukan, apakah dapat digunakan dalam argumen compulsory relationships sesuai dengan kerangka WTO. Dengan kata lain, apakah Indonesia mampu memasok vaksin tersebut apabila sudah ditemukan? Sepanjang vaksin belum ditemukan, maka kegiatan ekonomi tidak mampu berjalan secara normal. Meskipun keadaan terlihat normal, namun sebenarnya keadaaan tersebut ialah new normal karena vaksin belum ditemukan.

Oleh karena itu, kita harus berpikir ke depan dengan mempersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan. Saat ini, Indonesia telah melewati batas defisit sebesar tiga persen, namun belum terdapat agenda untuk menciptakan rasio pajak yang normal, yakni meningkatkannya dari 11 persen hingga 15 persen. Hal ini tentunya menjadi tantangan tanggung jawab bersama masyarakat Indonesia, tidak hanya pemerintah, tetapi juga warga negara.

Joko Susanto: Dalam situasi sulit seperti sekarang, apakah tidak sulit untuk menaikkan pajak?

Makmur Keliat: Dalam situasi normal pun rasio pajak di Indonesia sudah tidak normal, apalagi dalam kondisi saat ini.

Joko Susanto: Ada pertanyaan lagi terkait anggaran fiskal dari Sdr. Samuel Pablo I Parreira, — diskusan EIP Forum yang memantau perbincangan ini melalui Zoom ID Aula Indonesia Udaya. “Apabila kurva Covid-19 ini tidak juga turun, apakah anggaran fiskal Indonesia mencukupi untuk keperluan bantuan sosial dan sejenisnya?

Makmur Keliat: Ada beberapa pilihan yang ada. Pilihan yang dilakukan oleh Indonesia saat ini ialah debt issue financing, yakni pendanaan dengan mengeluarkan hutang. Pertanyaannya, apakah hutang tersebut digunakan untuk bantuan sosial atau keperluan lain? Akan lebih bagus apabila dana diberikan secara langsung kepada kelompok yang membutuhkan, daripada harus melalui mata rantai lain.

Dalam situasi pandemi, Indonesia tidak perlu memikirkan pertumbuhan ekonomi. Membuat pertumbuhan ekonomi tidak turun secara drastis saja sudah menjadi kemajuan yang sangat besar. Mengenai ketahanan fiskal, maka harus dimulai dari transparansi, yakni seberapa besar dana yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mendanai bantuan sosial. Oleh karena itu, tindakan pemerintah yang menunda pembangunan proyek strategis –seperti pemindahan ibu kota– merupakan strategi yang baik untuk menyampaikan pesan bahwa prioritas pemerintah saat ini ialah penanganan pandemi COVID-19.

Joko Susanto: Dalam waktu yang singkat, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk memastikan berjalannya bantuan sosial dan mempertajam kapasitas yang dimiliki?

Evan Laksmana: Masanya memang sudah terlewat apabila mengharapkan negara untuk menyelesaikan segala permasalahan. Persoalan saat ini lebih mengarah pada social capital, terutama di lingkungan-lingkungan yang lebih kecil, seperti RT, RW, maupun desa. Kata kuncinya berada di social capital, bukan lagi state capacity. Apabila pemerintah menetapkan lockdown, maka pelaksanaan micro lockdown terlihat lebih efektif, bukan pada tingkat provinsi atau nasional. Oleh karena itu, social capital dari masyarakat sesungguhnya lebih diharapkan dalam menangani pandemi.

Joko Susanto: Baik. Kita lanjutkan. Ini ada pertanyaan dari Sdr. Agastya Wardhana –diskusanEIP Forum yang mengikuti perbincangan ini melalui Zoom ID Aula Indonesia Udaya. Sejauh mana pandemi COVID-19 ini memberikan peluang-peluang leadership bagi Tiongkok? Dan bagaimana respons dari negara-negara lain terkait diplomasi kawasan yang dilakukan Tiongkok?

Evan Laksmana: Secara diplomasi, Tiongkok memang lebih unggul dari Amerika Serikat yang terkesan mengesampingkan multilateralisme dan mengejek beberapa pihak. Dalam konteks rivalitas Tiongkok dan Amerika Serikat, Tiongkok –paling tidak untuk saat ini– nampak sebagai pemenangnya. Kemenangan ini dapat dilihat melalui persoalan global health dan governance, yang mana Tiongkok mulai gencar menyediakan medical supply dan bantuan lainnya, sehingga menyebabkan berbagai negara seolah lupa bahwa awal mula permasalahan COVID-19 bersumber dari negara tersebut.

Namun, persoalan rivalitas AS dan Tiongkok tersebut adalah hal yang berbeda dengan persoalan kepemimpinan Tiongkok di kawasan sebagai penyedia regional goods dalam bidang ekonomi dan keamanan. Dari segi provision of regional goods, negara-negara kawasan –terutama Asia Tenggara– cenderung memberikan respons berupa resistensi terhadap upaya Tiongkok yang berusaha untuk mengambil leadership. Tiongkok hanya terlihat maju dalam konteks rivalitas dengan Amerika Serikat, bukan dalam upayanya untuk mengukuhkan leadership di kawasan. Dalam situasi saat ini, tidak terdapat konsensus dari negara kawasan bahwa mereka bersedia untuk berada di bawah leadership Tiongkok.

Joko Susanto: Baik. Kita lanjutkan.Ini ada pertanyaan menarik untuk Pak Makmur Keliat. Dari Mbak Emeralda Kusuma, –salah seorang diskusan EIP Forum yang mengikuti diskusi ini melalui Zoom ID Aula Indonesia Udaya. “Apakah terdapat faktor budaya dalam instrumen yang secara efektif digunakan untuk membantu percepatan dalam menyelesaikan permasalahan dan menyongsong emerging Indonesia? Mengingat bahwa faktor budaya cenderung menarik dan paradoksikal. Di satu sisi, mekanisme budaya cukup ruwet dalam menyikapi pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, pandemi COVID-19 juga dapat membentuk budaya baru dalam masyarakat. Masyarakat dapat mengalami benturan-benturan dalam menghasilkan nilai-nilai baru. Bagaimana pendapat Anda mengenai persoalan tersebut?”

Makmur Keliat: Negara modern melakukan welfare distribution yang datang dari tingkat nasional dan swasta melalui mekanisme yang fungsional. Sebagai contohnya ialah welfare distribution di Eropa yang sangat baik. Bagi masyarakat yang berada dalam negara kurang modern, mekanisme tersebut biasanya datang dalam konteks komunal. Konsepsi keamanan yang datang dari negara pun cukup terbatas. Masyarakat lantas mengandalkan communal distribution, baik melalui agama, etnis, dan sebagainya.

Akan tetapi, permasalahannya ialah mekanisme tersebut tidak dapat dilakukan ketika pandemi terjadi. Sebagai contoh, saat terjadi krisis finansial tahun 1998, sebagian masyarakat memutuskan untuk pulang kampung dan bekerja di sektor pertanian karena dianggap sebagai kartu penyelamat. Namun dalam konteks pandemi seperti saat ini, tindakan tersebut tidak dapat dilakukakan karena mampu mendatangkan permasalahan lebih lanjut.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor budaya membawa tantangan-tantangan baru, kecuali apabila dapat digerakkan sedemikian rupa dan menjadi sumber pendanaan yang berbasis komunal. Faktor budaya memang dapat diikuterstakan dalam penanganan pandemi COVID-19, namun tidak akan optimal dan bahkan dapat menjadi sangat sektarian.

Joko Susanto: Sebelum saya lanjut, saya ingin berikan kesempatan pada salah satu diskusan kita untuk menyampaikan pertanyaan atau responnya secara langsung. Tadi saya lihat Dr. Vinsensio Dugis, –salah seorang diskusan kita yang mengikuti diskusi ini via Zoom ID Indonesia Udaya– hendak menyampaikan sesuatu secara langsung. Silakan, Pak Vinsensio Dugis.

Vinsensio Dugis: Pandemi COVID-19 menyebabkan masyarakat menjadi semakin intens dalam berkomunikasi dengan keluarga dan kerabatnya. Inilah yang menjadi karakteristik Indonesia. Apabila harus memilih, maka pilihan bagi semua orang ialah pitstop, bukan crash. Tantangannya lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sektor-sektor perekonomian daerah –yang dianggap sebagai katup penyelamat ekonomi masyarakat– mulai terganggu. Hal ini dikarenakan mobilitas manusia dibatasi, sehingga menjadi persoalan ekonomi menjadi sulit untuk ditangani. Lantas, antisipasi apa yang perlu untuk dijadikan prioritas bagi daerah-daerah, terutama yang berada di luar Jawa?

Evan Laksmana: Mobilitas antar-manusia dan antar-daerah memang menjadi masalah karena kegiatan-kegiatan di banyak daerah lebih mengandalkan pada aspek kedekatan. Hal ini menjadi efek psikologis –seperti munculnya rasa pesimistis– dalam masyarakat yang kurang diperhatikan oleh para pembuat kebijakan. Namun dalam jangka panjang, rasa pesimistis tersebut dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi masyarakat yang awalnya tidak terlalu memedulikan politik, kebijakan publik, dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masyarakat menjadi lebih tepat dalam memilih para pemimpin yang memiliki visi terkait permasalahan secara riil, bukan pemimpin yang hanya mengandalkan sentimen seperti agama dan nasionalisme.

Joko Susanto: Terima kasih, Mas Evan. Ini ada juga pertanyaan menarik dari Pak René Pattiradjawane, yang mengikuti (diskusi) melalui YouTube streaming. Jadi, selain diskusi di Zoom ini, kita juga live streaming melalui YouTube di kanal Emerging Indonesia Project. Inti pertanyaan Pak René kira-kira begini, sebenarnya problem dari ketidakmampuan yang muncul dalam kerangka krisis ini, dalam kerangka pandemi ini, problem struktural atau problem non-struktural? Apakah karena dia unprecedented atau karena ada problem yang lebih besar dari pada problem-problem yang terlihat sekarang? Saya tertarik untuk memberikan kesempatan (untuk menjawab pertanyaan ini) pada Pak Makmur.Ini struktural apa non struktural problemnya, Pak Makmur?

Makmur Keliat: Jadi begini, saya kembali dulu kepada pertanyaannya Pak Vinsensio Dugis.

Joko Susanto: Iya, boleh, sekalian dibahas.

Makmur Keliat: Nah, saya kira begini. Situasi sekarang, ada nuansa positif yang harus kita tanamkan. Masalah yang kita hadapi, di sisi fiskal maupun di sisi moneter, bukan karena fraud, bukan karena mismanagement seperti tahun 1998. Masalah yang kita hadapi bukan karena bencana perang. Institusi itu masih ada di dalam. Itu yang pertama. Jadi masalah ini muncul karena manusia sebagai agent of economies-nya berhenti bekerja optimal, itu yang pertama.

Yang kedua, karena itu kita sangat mengharapkan bahwa jangan sampai seluruh instrumen fiskal dan moneter yang digunakan menciptakan fraud dalam eksekusinya. Itu yang kedua, itu harus benar-benar. Karena itu, yang harus kita fokuskan adalah pada eksekusinya, pada implementasi-nya. Harus sama-sama kita kawal, dan harus sama-sama kita monitor bahwa memang eksekusi kebijakannya sesuai dengan rancangan kebijakan yang dibuat sesuai dengan target kebijakan yang dicanangkan.

Yang ketiga yang perlu saya sampaikan adalah bahwa untuk masa sekarang, saya tidak menyatakan bahwa ekonomi bisa tumbuh karena alasan sederhana. Kalau kita katakan komponen dari pertumbuhan ini ada di consumption, ada dari komponen government, dan ada dari komponen investasi, ada dari komponen ekspor-impor, maka yang kita fokuskan sekarang ini adalah pada sisi consumption-nya dan government-nya. Jangan berpikir dulu bisa melakukan investasi.

Bagaimana bisa melakukan investasi? Orang datang saja susah, takut. Bagaimana mau melakukan ekspor bisa meningkat ke luar? Supply chain-nya terhambat, transportasinya terhambat. Fokuslah pada consumption, fokuslah bagaimana masyarakat mempunyai daya beli. Karena itu, monitoring terhadap seluruh instrumen kebijakan fiskal dan moneter agar dalam eksekusinya mencapai sasaran itu harus dilakukan bersama-sama. Saya kira itu yang mau saya sampaikan.

Mudah-mudahan jawaban ini bisa juga memberikan jawaban kepada Pak René Pattiradjawane. Saya tidak tahu apa yang dia maksudkan sebagai masalah-masalah di belakang masalah itu, masalah-masalah struktural. Tapi yang saya tahu adalah bahwa masalah yang kita hadapi bukan khas Indonesia. Instrumen kebijakan bukan instrumen kebijakan Indonesia. Yang menjadi penekanan adalah pada eksekusinya. Jangan sampai ketika pada masa eksekusinya itu terjadi fraud, terjadi penyimpangan, terjadi mismanagement. Itu yang perlu kita perhatikan bersama. Terima kasih.

Joko Susanto: Baik, ini diskusi kita makin menarik, tapi sayang sekali tanpa terasa sudah jam 21:53. Sebelum nanti saya berikan kesempatan kepada masing-masing pembicara untuk memberikan closing remarks-nya, ini ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Saya ingin menyampaikan secara singkat dalam bentuk trivial. Pertama, ada yang bertanya, apakah Indonesia akan menjadi episentrum baru? Pak Makmur? Ya atau tidak, Pak?

Makmur Keliat: Saya kira saya akan mengatakan tidak.

Joko Susanto: Baik, Mas Evan?

Evan A. Laksmana: 70 persen probability yes.

Joko Susanto: Oke, terus kemudian yang kedua, ada pertanyaan juga, kalau misalkan kita jadi episentrum baru, siapkah kita, Pak Makmur? Kita tahu Pak Makmur bilangnya tidak sampai terjadi episentrum itu. Tetapi kalau misalkan terjadi, siap tidak kita, Pak?

Makmur Keliat: Kalau kita menjadi episentrum baru, berarti skenarionya itu adalah skenario W. Bukan kita saja, karena seluruhnya.

Joko Susanto: Kawasan (Asia Tenggara) ya?

Makmur Keliat: Ini kan menjadi interaksi. Saya cenderung untuk mengatakan kurva yang akan muncul adalah kurva V dari pada kurva WW. Tidak bisa Indonesia saja menjadi episentrum (sementara) Asia Tenggara tidak menjadi episentrum, karena ini interaksi manusia.

Joko Susanto: Oke, Pak Makmur. Mas Evan?

Evan A. Laksmana: Kalau saya melihatnya seperti Pak Makmur bilang, bahwa kalau kita jadi episentrum, bukan hanya kita. Tapi kita juga ada measures in place, saya rasa, yang memang membatasi dari sisi Indonesia untuk melebar ke mana-mana dalam konteks manusianya. Tapi dari konteks ekonomi, memang semuanya masih saling terkait. Yang menjadi masalah adalah bukan apakah kita menjadi episentrum –ya atau tidak– tapi kalau pun ya dan kalau pun tidak, seberapa cepat kita mampu merespons kalau misalnya, dan ini sedikit menyangkut dengan apa yang Bang René bilang tadi, bahwa ini masalah struktural. Ya, memang leadership penting, tapi kita tidak bisa dengan satu hari merubah rasio dokter ke populasi, misalnya. Kita dengan satu hari tidak bisa mendatangkan puluhan ribu ventilator, ICU units, dan seterusnya.

Joko Susanto: Jadi anda setuju ini struktural?

Evan A. Laksmana: Kalau saya sih, struktural, dalam arti siapa pun presidennya akan menghadapi masalah yang sama dalam konteks rasio dokter ke populasi, suplai, dan seterusnya.

Joko Susanto: Struktural itu di tingkat global atau di tingkat negara-bangsa, Mas?

Evan A. Laksmana: Kalau saya sih melihatnya ini masih diskusinya di level Indonesia, ya. Karena di negara lain, di Sweden, misalnya, struktural tidak masalah tapi leadership-nya mempunyai ide yang berbeda. UK juga sama, struktural mungkin tidak terlalu masalah, tapi leadership-nya mempunyai ide yang berbeda mengenai manajemen COVID ini. Jadi, kita tidak bisa bilang bahwa ada persoalan struktural atau tidak di level global, kecuali mungkin dalam konteks supply chain. Tapi kalau kita bicara episenter dan kemungkinan persebaran, saya rasa yang menjadi (permasalahan) struktural terbesar di kita adalah, of course, di sisi health capacity dan seterusnya.

Joko Susanto: Ya, berikutnya ini, Pak Makmur. Ada perdebatan terkait prospek ekonomi ke depan. Yang negatif mengatakan bahwa ke depan ini akan ada resesi global, tapi yang positif mengatakan bahwa ini bukan economic recession, tapi economic cessation atau gencatan ekonomi saja. Kalau menurut Pak Makmur, ini ‘gencatan’ atau ‘resesi’ pak ke depannya?

Makmur Keliat: Saya kira ya, bisa kita katakan kita berhenti sebentar. Tetapi seperti yang saya sebutkan tadi, saya cenderung mengatakan bahwa skenarionya adalah (Kurva) V-scenario. Saya termasuk orang yang optimis, dan saya melihat bahwa tanda-tanda ke arah itu sudah mulai muncul. Jadi, China itu sudah mulai bergerak, tapi memang masih ada time lag, lah. Kemudian beberapa negara Eropa sudah mulai menurunkan pembatasan-pembatasannya. Jadi, yang menjadi penting bagi kita saya kira adalah mari kita sama-sama mengawasi eksekusi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Jangan sampai muncul spoiler-spoiler di dalam proses eksekusinya. Dan saya kira itu harus kita lakukan bersama-sama. Itu catatan saya, terima kasih.

Joko Susanto: Terima kasih, Pak. Ini menarik, walaupun kita nanti mungkin lesu, jika China bergerak, karena volumenya yang besar mungkin dunia akan ikut bergerak juga. Kalau Mas Evan, ‘gencatan’ atau ‘resesi’ ini, Mas?

Evan A. Laksmana: Kalau saya resesi. Memang dibanding Pak Makmur, saya lebih pesimistis, tapi saya setuju dengan apa yang Pak Makmur bilang dalam konteks kita juga harus mengawal, dan ini menurut saya letak paradoks dari curve tadi. Kalau kita berharap semuanya berjalan baik, artinya kita “berserah” terhadap situasi ekonomi regional dan kawasan yang akan membaik dan akan ikut menginput kita (sehingga) juga membaik, tapi di sisi lain kita tidak percaya dengan pemerintahnya untuk bisa mengambil bagian dari wave membaiknya itu. Jadi inilah mengapa harus terus dikawal.

So, kalau saya memang lebih pesimis, dan menurut saya ekonomi yang membaik itu akan cenderung ekonomi yang kurang bergantung dalam konteks informal economy-nya tidak sebesar kita atau India, jadi di persoalan porsi formal-informal economy juga menjadi penting. Yang kedua, seberapa tergantungnya kita dengan regional dan global supply chain. So far, menurut saya kita di Indonesia tidak punya cukup kajian yang detail dan spesifik mengenai derajat vulnerability kita dalam konteks supply chain sehingga kita hanya bisa menganalisis based on assumptions dan itu tadi, rasa optimism atau pesimisme.

Joko Susanto: Baik, Mas. Tadi di awal, dalam pilihan pitstop atau crash, Mas Evan kan memilih restart. Setelah kita diskusi panjang, apakah masih juga restart?

Evan A. Laksmana: Masih restart, karena menurut saya ada sedikit kesempatan dalam kesempitan, begitu ya. Dan buat saya kalau kita tidak restart dan kita hanya pitstop artinya kita hanya akan meneruskan dengan ‘mesin’ yang sama, dengan ‘driver’ yang sama, dengan ‘tim mekanik’ yang sama, sementara menurut saya itu harus diganti.

Joko Susanto: Pak Makmur, tadi Pak Vinsensio Dugis mengatakan walau bagaimana pun, pitstop ini desirable, harus tetap diusahakan. Kalau Pak Makmur melihatnya gmana?

Makmur Keliat: Ya, saya kira ya berhenti sementara, tapi kan dalam rangka kita melakukan refleksi. Akan ada perubahan-perubahan, saya kira, saya cukup untuk mengatakan pada kalimat itu. Perubahan-perubahan akan datang.

Joko Susanto: Baik, ini terakhir. Di periode kedua ini, Presiden Jokowi di antaranya hadir dengan mengusung gagasan Indonesia Maju. Tapi ketika itu diutarakan, belum ada asumsi bahwa akan ada pandemi seperti ini. Pertanyaan saya, dalam situasi pandemi seperti ini, masih relevan tidak kita bicara Indonesia Maju, –dalam artian yang ‘leaping forward’ begitu?

Makmur Keliat: Ya tidak mungkin lah, (tidak ada) pelaku politik (yang) kemudian mengatakan akan ada pandemi. Tidak ada. Jadi maksud saya begini. Seluruh rancangan kebijakan, apakah dia fiskal, moneter, kesehatan, memang dirancang dalam situasi normal. Jadi, yang selalu ‘idol’ biasanya adalah pertahanan. Nah, itu nanti Mas Evan bisa cerita bagaimana mengubah defense expenditure menjadi surplus. Tapi yang lain, kan, tidak begitu.

Joko Susanto: Berarti perlu ada penyesuaian di sini. Baik, silakan Mas Evan. Bagaimana dengan pertahanan dan sebagainya tadi? Masih bisa bertahan tidak konsep atau kerangka yang ada tadi, Mas? Apa yang perlu disesuaikan lebih lanjut setelah ini?

Evan A. Laksmana: Saya rasa memang ada dua hal yang berbeda ya antara pertahanan kalau hanya diukur dari sisi Menhan yang lebih cenderung sifatnya teknologi, artinya ini soal kita beli alutsista, kita mengembangkan industri pertahanan dan seterusnya. Dalam hal itu saya rasa memang beberapa kalkulasinya bisa dibuat. Artinya, bisa dikurangi, bisa direalokasikan, tapi rencana long term dari sisi teknologi saya rasa masih bisa dipertahankan meskipun skalanya dan waktunya tidak seperti diharapkan Pak Menhan. Tapi buat saya justru mengapa ini menjadi momen restart, bicara konteks pertahanan? Justru karena kita tidak mampu untuk injak gas full, untuk menyelesaikan minimum essential force, mengapa kita tidak restart ulang dengan membenahi sistem pendidikan, membenahi sistem organisasi, dan seterusnya, sesuatu yang sebetulnya tidak butuh anggaran sebesar itu kalau dibandingkan dengan teknologi pertahanan. Jadi, buat saya restart-nya di situ dan ‘gas’nya di situ.

IV.

URAIAN PENUTUP

Joko Susanto: Baik, terima kasih. Teman-teman sekalian, di waktu yang tersisa ini saya ingin memberikan kesempatan untuk closing remarks, masing-masing satu menit saja, yang mungkin bisa membantu pemirsa untuk mengunci (menggarisbawahi) pemahaman terkait perbincangan panjang kita? Saya akan mulai dari Pak Makmur, apa kira-kira pesan-pesan yang mau disampaikan?

Makmur Keliat: Saya ada dua hal. Pertama, tetap membangun kepercayaan terhadap pemerintah. Kedua, mengawasi atau mengawal seluruh proses pelaksanakan Perpu  Ekonomi. Perpu yang kemarin diterbitkan, serta seluruh instrumen yang digunakan Bank Indonesia dan Kementerian Kesehatan. Ini yang harus kita kawal bersama, agar tidak terjadi apa yang saya sebut sebagai spoiler-spoiler.

Joko Susanto: Kalau Mas Evan, ada yang ingin disampaikan?

Evan Laksmana: Buat saya, masyarakat harus disiplin dalam memilah informasi yang diterima dan disebarkan. Hal ini dikarenakan salah satu faktor yang semakin memperkeruh keadaan ialah beredarnya hoax dan misinformasi yang dapat mempersulit pelaksanaan kebijakan pemerintah. Selain itu, masyarakat juga harus percaya ke dokter –bukan dukun– dan para ahli di bidang kesehatan publik. Sejumlah tindakan tersebut dapat digunakan untuk membentuk ketahanan informasi.

Joko Susanto: Baik, terima kasih. Terima kasih, Mas Evan, Pak Makmur Keliat, juga teman-teman sekalian yang sudah mengikuti EIP Forum kali ini, baik melalui Zoom maupun melalui YouTube Streaming. Saudara-saudara sekalian, tidak ada yang menghendaki situasi pandemi. Pandemi ini adalah sesuatu yang datang tiba-tiba, yang kita tidak pernah perkirakan sebelumnya. Karena itu, dalam beberapa hal, ia juga memberikan situasi yang tidak mudah, tadi sudah disampaikan oleh Mas Evan beberapa tantangan dan kesulitan yang kita hadapi.

Tetapi kemudian Pak Makmur juga mengingatkan bahwa bagaimanapun kita harus tetap optimis bahwa ini adalah suatu proses yang pada suatu saat akan (membawa) kita kembali. Badai pada suatu waktu nanti juga akan berlalu. Harapannya, ketika itu berlalu, kita sudah siap menyongsong (dan)  kembali ke lintasan dengan semangat baru, (serta) dengan suatu ketanggapan baru. Mudah-mudahan seperti itu.

Tentu saja ada pe-er (pekerjaan rumah) pembangunan kapasitas dan sebagainya, ada persoalan baik itu fungsional maupun struktural, tapi yang penting (dan) terutama adalah memelihara trust, memelihara optimisme, terus kemudian setelah itu juga meningkatkan pembangunan kapasitas dan banyak hal yang harus kita lakukan. Akhir kata, pandemi ini suatu saat pasti akan berlalu.

Mari kita mempersiapkan diri untuk menyongsong (semua itu). Agar ketika itu berlalu kita bersiap untuk kemudian membuat ini lebih maju. Kemajuan kita ada di depan, dan perlu dukungan dan support dari kita semua.

Saya Joko Susanto, terima kasih sudah mengikuti EIP Forum edisi pertama ini. Silakan subscribe kanal Emerging Indonesia Project di YouTube atau di media sosial terkait lainnya. Kita akan memastikan anda mendapatkan update rencana diskusi EIP berikutnya. Terima kasih sekali lagi Mas Evan, Pak Makmur, serta semua (diskusan) yang sudah hadir. Terima kasih, sampai bertemu di EIP Forum berikutnya. Salam Indonesia Udaya.


DISCLAIMER: Featured Transcript adalah transkrip podcast yang sedapat mungkin mendokumentasikan secara tertulis perbincangan yang sebelumnya berlangsung secara lisan. Untuk membuatnya lebih mudah dipahami secara tertulis, beberapa keterangan penajam atau penyerta ditambahkan oleh narasumber maupun penyunting dengan tanpa mengubah inti kalimat yang ada. Silakan mendengarkan audio atau klik tautan Youtube terlampir untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentangnya.

Written by
EIP Forum

EIP Forum adalah seri seminar, konsultasi dan diskusi ahli terkait tantangan dan peluang kondisi emerging Indonesia. Tujuannya mendorong pengembangan wawasan dan pemahaman melalui pertukaran pandangan dan keterlibatan konstruktif pemangku kepentingan. Kegiatan itu dilakukan secara periodik maupun insidental, secara luring maupun daring melalui pendapa digital Aula Indonesia Udaya. Atas seijin narasumber, bagian terpilih dari rekaman dan transkrip diskusi nantinya dipublikasikan dalam seksi podcast di portal EmergingIndonesia.com.

View all articles
Written by EIP Forum

Kontak

Ikuti Kami

Dapatkan update berita, ulasan dan kegiatan kami dengan cara follow akun sosial media kami berikut ini.