Revolusi 4.0, Bonus Demografi dan Milenial

Tantangan lain dari transformasi negara berkembang (developing country) ke negara udaya (emerging country) adalah adalah Revolusi Industri Keempat atau Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi yang muncul sebagai konsekuensi revolusi teknologis awal abad XXI. Motor peng-geraknya adalah teknologi kecerdasan buatan, internet of things/IoT, kendaraan tanpa awak, teknologi cetak tiga dimensi/3D-printing, nanotechnology, biotechnology, penyimpanan energi dan komputer kuantum.

Disebut yang keempat, karena sebelumnya telah ada tiga revolusi besar. Pertama, ketika mesin uap ditemukan akhir abad XVIII dan melahirkan mekanisasi produksi yang modern untuk pertama kali. Kedua, ketika teknologi listrik diperkenalkan dan menghasilkan massalisasi produksi awal abad XX. Ketiga, ketika teknologi informasi diketengahkan dan melahir-kan mode produksi elektronik dan proses-proses produksi yang automatik akhir abad XX.

Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi yang muncul sebagai konsekuensi revolusi teknologis awal abad XXI. Motor peng-geraknya adalah teknologi kecerdasan buatan, internet of things/IoT, kendaraan tanpa awak, teknologi cetak tiga dimensi/3D-printing, nanotechnology, biotechnology, penyimpanan energi dan komputer kuantum.

EIP Editorial

Seperti halnya tiga revolusi industri sebelumnya, Revolusi Industri 4.0 membawa dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan teknologi robotisasi dan otomasi tingkat lanjut serta cyber-physical system di satu sisi meringankan manusia dalam menyelesaikan tugas-tugas rutin tapi di sisi lain juga menyebabkan banyak jenis lapangan pekerjaan menghilang. Aplikasi robot bersuara manusia yang diberi nama Google Duplex merupakan contohnya.

Berkat teknologi kecerdasan yang dikembangkannya, Google Duplex ini dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan asisten seperti menelepon tukang potong rambut, mengatur jam yang tepat untuk potong rambut, memesan layanan cepat saji dan memutuskan kapan seharusnya ia dikirimkan ke ruang rapat. Dengan beberapa penyempurnaan, Google Duplex ke depan berpotensi menggantikan fungsi dasar keasistenan.

Transformasi lapangan kerja memang menjadi satu di antara tantangan krusial Revolusi Industri Keempat. Laporan McKinsey&Company (2015),[1] misalnya, memperkirakan 47% pekerjaan bakal mengalami otomasi di Amerika Serikat. Tentu saja tidak semua pekerjaan mengalami otomasi. Akan tetapi, yang jelas kemungkinan otomasi itu ada dan makin besar dalam beberapa jenis pekerjaan.

Para ahli jauh hari telah memperingatkan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang sifatnya rutin, repetitif dan predictable adalah jenis pekerjaan yang paling mungkin mengalami otomasi.  Penelitian Frey dan Osborne (2013) di Spanyol misalnya, menemukan bahwa pekerjaan seperti operator telemarketing dan staf pembukuan memiliki risiko terkena otomasi yang lebih tinggi daripada pekerjaan sopir taksi, analis finansial, musisi dan juga dokter keluarga.

Risiko Otomatisasi di Spanyol

Tetapi, selain menggantikan suatu jenis pekerjaan, revolusi teknologi biasanya juga menciptakan lapangan pekerjaan baru. Ini bagian dari rumus creative destruction yang diperkenalkan pakar ekonomi terkemuka Joseph Schumpeter (1942).[2] Para ahli sudah mencatat bahwa sepertiga dari jenis pekerjaan baru yang muncul dalam 25 tahun terakhir adalah jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya.  Studi lembaga konsultasi stratejik terkemuka McKinsey di tahun 2011 misalnya juga menemukan bahwa selain membuat usang 500.000 lapangan pekerjaan di Perancis, revolusi digital di 15 belas tahun terakhir Revolusi Industri Ketiga di sana juga menyediakan 1,2 juta lapangan kerja baru (McKinsey, 2017)[3]

Kita percaya bahwa Revolusi Industri Keempat kurang lebih juga akan seperti itu. Persoalannya tinggal apakah kita siap menghadapi perubahan itu. Ke depan pekerjaan akan lebih banyak berurusan dengan penguasaan teknologi digital. Namun penguasaan teknologi digital saja tidak cukup; kemampuan analisis, kreativitas dan inovasi menjadi kunci. Ke depan peran-peran Big Data akan semakin penting. Ini berarti juga perlu lebih banyak analis untuk mengelola dan membaca ledakan data-data yang berlimpah di sana. Oleh karena dunia yang serba mesin sangat mudah ditebak, peran-peran ekonomi kreatif dan kecakapan inovatif ke depan akan makin krusial.

Does Googles Duplex Scare You?
(medium.com)

Dalam beberapa hal, ini adalah ciri umum tantangan yang dihadapi generasi milenial. Generasi milenial adalah generasi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan besar di sekitar fase puncak Revolusi Industri Ketiga dan fase rintisan Revolusi Industri Keempat di mana teknologi platform digital memainkan peran penting. Ini menjelaskan ketertarikan besar generasi milenial dengan segala hal yang berbau digital. Tidak hanya punya orientasi teknologi digital kuat, generasi milenial juga menunjukkan kecenderungan kuat untuk kerja mandiri.

Riset McKinsey Global Institute/MGI, misalnya, menemukan bahwa 20 sampai 30 persen populasi usia produktif di Amerika Serikat dan Uni Eropa saat ini bekerja dalam platform-platform digital yang mengedepankan kerja-kerja mandiri ini.[4] Melalui platform-platform digital rintisan atau digital start-up yang tumbuh pesat dalam sektor transportasi, perdagangan barang dan lain-lain, kita pun mulai menyaksikan gejala maraknya kerja-kerja mandiri serupa itu belakangan ini.

Tidak hanya punya orientasi teknologi digital kuat, generasi milenial juga menunjukkan kecenderungan kuat untuk kerja mandiri.

EIP Editorial

Di tengah perubahan-perubahan besar Revolusi Industri Keempat, hanya tenaga kerja yang memiliki kecakapan dan nilai lebih saja yang akan punya peluang. Sebaliknya, tenaga kerja dengan kecakapan rendah dan bekerja dalam moda rutin, repetitif dan mekanik seperti mesin nantinya harus bersaing keras dengan robot dan mesin.  Pendek kata, untuk menang dalam persaingan melawan mesin. Kita perlu lebih meningkat-kan kualitas kita sebagai manusia.

Karena itu pula Klaus Schwab (2016), orang yang punya andil besar dalam mempopulerkan istilah Revolusi Industri Keempat, jauhari telah mengingatkan bahwa hal terbaik yang perlu dilakukan dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan-perubahan besar Revolusi Industri Keempat adalah berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia.[5]

Tantangan ini semakin krusial pada negara-negara yang sebentar lagi menikmati bonus demografi.  Ini karena teknologi automasi lanjut, robotika dan cyber-physical system pada dasarnya adalah teknologi yang mula-mula dikembangkan untuk mengatasi kelangkaan sumber daya manusia di negara-negara maju yang mengalami ageing society. Sebaliknya, negara-negara yang memasuki fase bonus demografi adalah negara dengan sumber daya manusia usia produktif yang melimpah. Kita yang tengah memasuki periode bonus demografi ini perlu bersiap diri menghadapi tantangan ini. (Joko Susanto/JOSS)


  • [1] McKinsey & Company, “Four fundamentals of workplace automation”, McKinsey Quarterly, November 2015.
  • [2] Joseph A. Schumpeter,  Capitalism, Socialism and Democracy, London: Routledge, 1994/1942.
  • [3] McKinsey & Company, “Technology, Jobs and the Future of Work”, McKinsey Quarterly, May 2017.
  • [4] McKinsey & Company, “Technology, Jobs and the Future of Work”, McKinsey Quarterly, May 2017.
  • [5] Klaus Schwab. The fourth industrial revolution. Crown Business, 2016.

Image: Digital Revolution by E-Trend Talk

Written by
Director's Note
View all articles
Written by Director's Note

Kontak

Ikuti Kami

Dapatkan update berita, ulasan dan kegiatan kami dengan cara follow akun sosial media kami berikut ini.